Wednesday, June 24, 2015

Budaya Laut & Jati Diri Ekonomi Kita



Hari ini kalau saya lihat-lihat di forum Stockbit, ada banyak orang yang membicarakan tentang masalah kepelabuhan di Indonesia, terutama urusan Dwelling Time (Waktu Tunggu Bongkar Muat) di Tanjung Priok yang dikeluhkan bapak Jokowi. Miris sih dengernya. Tapi di satu sisi saya senang juga, karena seperti yang saya ungkapkan di postingan saya terdahulu, Program Tol Laut & Kinerja Emiten Maritim, jarang-jarang penduduk kota besar apalagi di Pulau Jawa yang ngobrolin tentang laut. Di sisi lain, saya semakin tertarik untuk membahas ekonomi di bidang kelautan ini, setelah menganalisis Emiten-emiten sektor pelayaran dan mendapati bahwa hampir semua emiten di bidang itu berkinerja tidak stabil bahkan mencatat kerugian, di negara yang mayoritas wilayahnya laut.


Kita sebagai warga negara kepulauan, mungkin perlu merenungkan beberapa pertanyaan ini: 
  • Pernah gunakan kapal laut sebagai sarana transportasi? 
  • Bisa berenang? 
  • Pernah diajarin materi Teknik mengungsi saat Tsunami ketika sekolah? 
  • Alergi makan ikan?
  • Tau maskapai pelayaran yang namanya "PELNI"?
  • Punya cita-cita yang berhubungan sama laut waktu kecil?
  • Pernah gunakan laut sebagai bahan olokan yang menggambarkan kehinaan? kayak "Ke laut aje loe!". 
  • Dari 3 angkatan di TNI (Darat, Laut, Udara), mana yang paling dominan di negara ini?
  • Indonesia negara kepulauan, kok banyak yang pilih wisata ke Phuket?
  • Kok Pantura sering macet?
  • Mengapa pembangunan timpang antara Jawa dan Kawasan Timur Indonesia?
Yah, setidaknya dengan di angkatnya isu ini oleh Pak Jokowi bisa menyadarkan masyarakat tentang siapa seharusnya kita. Dari sekian banyak pertanyaan di atas, bisa saja kita tarik satu pertanyaan besar lagi: Apakah ada upaya sistematis untuk menjauhkan kita dari laut?

Saya tidak tahu. Lagipula saya tidak terlalu tertarik sama teori-teori konspirasi (banyak kisah-kisah konspirasi yang beredar di internet yang teori-teorinya nggak mutu, macam Illuminati, mata satu, segitiga, bla bla bla...) tapi mari kita telaah dari sisi sejarah Indonesia.

Pada era Hindu-Buddha wilayah Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu kekuatan maritim Asia. Bahkan sebelum itu kita punya kota kuno di bernama Barus di Sumatera Utara yang jadi kota pelabuhan dan jadi pengekspor kapur Barus ke Mesir dan China, yang kemudian memperdagangkannya hingga Eropa. Lalu muncul kerajaan Sriwijaya yang kekuatan armada lautnya sudah mendunia. Hingga kini di Madagaskar. Kalau Anda mencermati beberapa kosakata yang dituturkan oleh suku Merina di negara tersebut, Anda akan menemui beberapa kemiripan dengan bahasa Melayu/Indonesia.

Belum lagi suku Bugis yang juga terkenal memiliki budaya berlayar yang tinggi. Selain ke Madagaskar dan Afrika selatan, mereka ini juga adalah bangsa yang pertama kali menjalin hubungan dagang dengan suku Aborigin di Australia. Biasanya yang diperdagangkan adalah cangkang, sarang burung, garam, dan nacre (pelapis yang terbuat dari cangkang). Kebiasaan dagang ini masih berlangsung sampai sekarang. Waktu saya berkunjung ke kota Makassar, hal pertama yang saya kagumi dari kota ini adalah banyak grup-grup konglomerasi lokal yang jejaknya bisa kita temui di seluruh penjuru kota (pesan: Tidak perlu ke Jakarta kalau mau sukses). Sebut saja Hadji Kalla, Bosowa, Fajar Grup, La Tunrung, dan Poleko.

Di era Kerajaan Islam pula, interaksi dengan negeri-negeri lain semakin marak melalui aktivitas dagang. Pelayaran berperan penting dalam banyak aspek baik urusan dagang, penyebaran agama, akulturasi budaya bahkan perang. Interaksi dengan bangsa asing via laut ini tentu saja penting karena bagaimana mungkin bisa mengandalkan hubungan darat kalau untuk mengunjungi kita saja mereka harus menyeberang laut.

Setelah Belanda berhasil menguasai semua wilayah yang kini jadi Republik Indonesia, saya kira inilah awal mulanya terjadi kemerosotan kejayaan maritim. Jika sebelumnya kita punya pilihan untuk memperdagangkan hasil bumi kepada banyak pihak, maka di era Kolonial umumnya rakyat dipaksa untuk bertani, dan tanaman apa yang mau diproduksi juga harus sesuai keinginan Belanda, harus di jual ke Belanda dengan harga yang ditentukan Belanda. Walau begitu, karena sistem perdagangan yang terpusat di tangan Belanda itulah kemudian banyak pelabuhan-pelabuhan kuno yang kemudian di-upgrade untuk mengakomodir angkutan komoditas skala besar. Terkecuali pelabuhan Ambon, hampir semua pelabuhan besar kala itu sudah dihubungkan dengan jalur kereta api yang mengangkut hasil bumi dari pedalaman dan sebaliknya, sebut saja Tanjung Priok, Tegal, Cirebon, Semarang, Surabaya, Cilacap, Teluk Bayur, Panjang, Balikpapan, Makassar (ya, dulu ada rel kereta api di sini), Belawan, dan Banda Aceh. Sudah jadi filosofi Belanda bahwa pelabuhan di daerah jajahan harus punya rel kereta, seperti yang tergambar dalam dokumen teknis rencana pembangunan rel kereta api Sulawesi yang diberi judul 'Waar Ocean en Rail elkaar ontmoeten' (Dimana Laut dan Rel Bertemu).


kri pasopati, 1 dari 12 kapal selam Indonesia
saat konfrontasi perebutan Irian Barat

Bung Karno yang saat itu memimpin negara Indonesia yang masih muda,dengan cepat sadar bahwa memang pertahanan laut negara ini sangat rapuh. Jalur diplomatik dan militer ditempuh untuk membangun atau minimal memamerkan kekuatan. Wilayah-wilayah laut, yang waktu itu secara hukum berstatus peraran bebas Internasional lantaran warisan hukum Belanda menyatakan wilayah laut teritorial hanya sejauh 3 mil dari garis pantai, segera diklaim sebagai wilayah Indonesia melalui Deklarasi Djuanda. Sebagai pemimpin negara baru, Soekarno terbilang sukses membangun Angkatan Udara dan Angkatan Laut lantaran kedekatan Indonesia dengan Uni Sovyet. Agak susah dibayangkan bahwa negara yang baru berumur 15 tahun dan masih punya masalah ekonomi dan politik yang carut-marut malah sudah punya Pesawat tempur jet berlumlah ratusan (ingat, itu masih tahun 60-an), kapal perang dengan bobot 16.640 ton dan puluhan kapal perang lain yang lebih kecil, 16 kapal selam, serta satuan pasukan khusus yang personelnya sudah dilatih untuk mati karena membawa human torpedo (torpedo yang dikendarai manusia, cikal bakal jet ski sekarang) dengan target sasaran yang bukan main: Kapal Induk Belanda, HNLMS Karel Doorman.

Memasuki era Orde Baru, terjadi perubahan besar terhadap laut ini. Stigma buruk Komunis pasca G30S/PKI membuat hubungan dengan Uni Sovyet sebagai pemasok senjata merenggang. Alutsista Laut dan Udara mulai menua tanpa ada regenerasi yang berarti. sebaliknya, Angkatan Darat mulai mendominasi sendi-sendi kehidupan negara. Salah satu tudingan keras terhadap Angkatan Udara dan Laut adalah 'masih ada bau komunis' lantaran pemasok senjata umumnya dari Uni Sovyet. Di lain pihak Angkatan Darat mulai masuk ke kehidupan rakyat sipil dengan doktrin dwifungsi ABRI, didirikannya pos-pos militer hingga tingkat kecamatan, serta program-program kegiatan seperti BABINSA/TMD.

Hal lain yang juga nampak jelas adalah pola pembangunan yang, meskipun gencar dan drastis tapi terpusat di Pulau Jawa terutama Jakarta. Selain itu transportasi penunjang pelabuhan, yaitu kereta api, juga relnya banyak yang sudah tidak terhubung lagi ke dermaga. Jalur-jalur rel yang dulu menembus wilayah pedalaman juga banyak yang ditutup, jadi interkonektivitas via rel-pelabuhan sudah tidak memadai lagi, sebut saja jalur Purwokerto-Wonosobo yang sengaja dihubungkan ke pelabuhan Cilacap, kini sudah tenggelam tertutup bangunan. Sebaliknya, industri otomotif makin berkembang pesat. Banyak pabrik-pabrik suku cadang dan perakitan yang tumbuh di era Orde Baru, salah satunya Astra. Jalan Tol juga mulai menyaingi rel kereta api baik untuk fungsi angkutan penumpang maupun barang. Jika total panjang rel makin berkurang, maka total panjang jalan tol justru bertambah di era Orde Baru. Industri kendaraan roda karet memang berjaya besar semenjak itu.


Satu dekade pasca reformasi, perbaikan kondisi maritim juga tidak banyak, malah bisa dibilang masih kelanjutan dari sisa-sia Orde Baru. total panjang rel yang ditutup juga terus bertambah. Pembangunan masih Jawa-Sentris. Ketimpangan harga antara wilayah barat dan timur Indonesia belum bisa diatasi lantaran minimnya fasilitas pelabuhan beserta penunjangnya yang tidak sesuai dengan jumlah aktivitas yang seharusnya ditangani, baik itu pelabuhan di Jawa maupun di pelabuhan di kawasan Timur.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kedepan di era Bapak Joko Widodo. Namun, sejauh ini saya cukup gembira karena apa yang ada di pikiran saya selama ini tentang laut kita akhirnya juga dipikirkan oleh seorang pejabat besar, minimal beliau mau mengangkat isu ini di depan publik. Hanya memang sejauh ini belum ada progres fisik yang signifikan dalam hal pembangunan infrastruktur kelautan, berbeda dengan infrastruktur darat yang proyek-proyeknya beberapa sudah jalan atau sudah selesai, misalnya bendungan di NTT, Jalan Tol Trans Sumatera dan Jalan Tol Cipali yang baru diresmikan tanggal 13 Juni kemarin. Namun usaha menuju ke situ sudah ditunjukkan, termasuk meresmikan kapal tol laut dengan rute Surabaya-Lampung tanggal 6 Mei kemarin, serta peresmian mulainya beberapa proyek pelabuhan. Proyek-proyek ini tidak akan langsung kita rasakan manfaatnya, karena umumnya masih proyek-proyek pelabuhan kecil, atau kalaupun pelabuhan besar juga akan memakan waktu pembangunan yang tidak sebentar. Walau begitu, hal ini harusnya masih bisa dimaklumi karena umumnya proyek-proyek kelautan yang akan dijalankan adalah proyek baru dari pemerintahan yang baru, sementara proyek-proyek macam jalan tol tadi ya.... itu kan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya, jadi wajar saja kalau progress proyek-proyek itu nampak lebih cepat ketimbang proyek-proyek maritim.

Nah, dari artikel yang panjaaang di atas bukannya saya ingin mengunggulkan satu pihak dan merendahkan pihak yang lain. Saya mencoba menelaah peristiwa satu dan peristiwa lainnya, bukan pribadi yang satu dengan pribadi lain. Masih banyak hal-hal positif juga yang diwariskan oleh masing-masing era pemerintahan. Berkat Pak Harto kini saya bisa menikmati bertransaksi di bursa efek yang perkembangannya terus menanjak secara dinamis (lagi bearish dalam jangka pendek nih, tapi ujung-ujungnya pasti naik juga kok), dimana di era-era  sebelumnya bursa efek kita bagai hidup segan mati tak mau. Dari Era BJ. Habibie hingga SBY juga ada perkembangan positif yang pesat dalam bidang tertentu, misalnya stabilitas politik yang sudah terbentuk, kebebasan pers yang lebih baik, desentralisasi politik, serta porsi yang lebih adil pada masing-masing angkatan dalam tubuh TNI. Khusus di era SBY bahkan Indonesia bisa melipatgandakan jumlah bandar udaranya sehingga menjadi salah satu negara dengan bandar udara terbanyak di dunia, dan, tentu saja di era beliau-lah IHSG mengalami perkembangan yang sangat baik, meski sempat crash di 2008.

Saya juga tidak berupaya untuk memuji-muji Bpk. Jokowi secara berlebihan. Sekali lagi, dampak positif Tol Laut belum terlalu terasa saat ini, terlebih untuk masyakarat di wilayah timur. Tapi setidaknya ada pejabat yang mau mengangkat isu ini, itu sudah baik. Karena, mafia di sektor ini jumlahnya bejibun, mulai dari urusan kargo, migas sampe perikanan, yang punya kepentingan jumlahnya banyak. Tidak salah jika beberapa saat yang lalu beliau ngamuk-ngamuk di Pelabuhan Tanjung Priok gara-gara durasi pengangkutan dan Administrasi kargo di sana yang sangat lama dan menimbukan kerugian finansial yang tidak sedikit. Selain perkara profesionalisme, kita tidak bisa juga menyalahkan tudingan bahwa ada unsur kesengajaan di sini. Kesengajaan agar proses birokrasi menjadi lama dan boros sehingga memunculkan ketergantungan-ketergantungan pada pihak tertentu, yang tentu saja adalah mafia.

Patut juga dicurigai, bahwa para mafia ini sengaja menjauhkan kita dari laut, menjauhkan kita dari potensi ekonomi super besar yang kita miliki. Cara-cara kerja mereka sangat sistematis, karena melibatkan banyak pihak termasuk orang-orang pemerintahan dalam negeri, termasuk yang menguasai penyusunan proyek-proyek pembangunan, pengusaha besar perikanan luar negeri, penjaga perbatasan, cukong migas, dan masyarakat sendiri, yang dibentuk untuk melupakan laut. Layaklah saya kutip pernyataan bu menteri kita yang nyentrik, Susi Pudjiastuti pasca dilantik. Ketika beliau ditanyai oleh Metro TV tentang adanya kemungkinan pengabaian atas budaya maritim di masyarakat kita sebagai hal yang by design (disengaja), beliau menjawab, "Saya tidak tahu. Waktu itu saya hanya orang kecil dan tidak ngerti permainan orang-orang atas kala itu. Yang jelas, it's a huge business!"

No comments:

Post a Comment