Sunday, June 21, 2015

Merdeka Copper Gold, Si Kucing Dalam Karung

Pada tanggal 19 Juni kemarin, Bursa kebanggaan kita ketambahan satu emiten baru, Merdeka Copper Gold (MDKA). Perusahaan ini menggelar IPO pada tanggal 19 Juni kemarin. Begitu diperdagangkan, harga sahamnya langsung naik 25% dari 2000 ke 2530.


Ada beberapa hal yang bagi saya sangat menarik tentang MDKA ini. Diantaranya:

Pertama Listing Tanpa Cetak Laba

MDKA adalah perusahaan pertama yang tidak perlu punya produksi dulu untuk bisa melantai di BEI. Ya, perusahaan ini belum berproduksi sama sekali, jadi belum bisa mencetak pendapatan apapun yang bisa menguntungkan para pemegang sahamnya. Perusahaan baru mulai berproduksi pada tahun 2016 mendatang.


MDKA bisa listing di bursa tanpa perlu mencetak laba terlebih dahulu, karena memanfaatkan peraturan terbaru dari BEI yang memberi ruang bagi perusahaan tambang yang belum berproduksi untuk bisa listing di bursa, dengan syarat Aset Berwujud Bersih (Net Tangible Asset) dan biaya eksplorasi yang ditangguhkan sejumlah paling kurang Rp 100 Miliar untuk Papan Utama atau Rp 5 Miliar untuk Papan Pengembangan, memiliki paling kurang 1 orang Direktur yang memiliki keahlian dengan latar belakang teknik dan pengalaman kerja di bidang pertambangan paling kurang 5 tahun dalam 7 tahun terakhir, memiliki cadangan terbukti (proven reserve) dan terkira (probable reserve) berdasarkan Laporan Pihak Kompeten, memiliki sertifikat clear and clean, serta memiliki Studi Kelayakan. Disamping itu, Calon Perusahaan Tercatat tetap harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Nomor I-A. tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat serta peraturan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang usaha dari Calon Perusahaan Tercatat.

Peraturan di atas ditujukan untuk meredam tingkah laku perusahaan tambang Indonesia yang justru listing di bursa-bursa luar negeri, misalnya Freeport yang statusnya adalah perusahaan tertutup di Indonesia, namun Induknya justru listing di bursa AS. Contoh lain ada ExxonMobil dan Newmont. Ada juga BUMI dan Antam yang dual listing di BEI dan bursa asing. Jadi seolah-olah rakyat negara ini hanya dapat sebagian kecil dari porsi yang seharusnya bisa dinikmati sebagai rakyat.

Alasan perusahaan-perusahaan tambang itu untuk listing di bursa asing umumnya adalah adanya hambatan dari sisi regulasi. Sebelum terbitnya peraturan baru ini, perusahaan tambang yang belum bisa berproduksi (sehingga belum punya pendapatan dan laba) tidak bisa melantai dan mengakses modal dari investor. Padahal untuk bisa mencapai tahap produksi itu mereka harus punya dana untuk menutup biaya eksplorasi (penelitian cadangan mineral/migas) dan biaya perijinan. Belum lagi tentang kewajiban untuk membangun smelter (fasilitas pemurnian) yang baru diterapkan beberapa tahun terakhir ini. Jadi, untuk bisa berproduksi saja mereka perlu modal besar, tapi pasar modal yang diharapkan bisa menyediakan modal malah tidak memungkinkan mereka untuk bergabung karena belum berproduksi. Untuk alasan itulah peraturan listing khusus usaha tambang ini diterbitkan. Perusahaan tambang yang ingin listing agar dapat modal tidak perlu sudah berproduksi, namun syarat utamanya adalah mereka punya cadangan terbukti dan cadangan terkira yang memadai. Dan, MDKA adalah perusahaan pertama yang memanfaatkan kemudahan ini.

Tumpang Pitu, The Next Grasberg?

Lokasi site Tumpang Pitu (Gunung Tujuh) ini terletak di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebelum ramai dibicarakan sebagai site tambang, Tumpang Pitu sudah dikenal duluan oleh masyarakat lokal sebagai tempat yang kental unsur mistis. Legenda (atau memang sejarah?) menyebutkan tempat tersebut adalah tempat persinggahan permaisuri Raja Airlangga, Putri Tumpang Pitu. Uniknya, warga sekitar sudah mengenal Tumpang Pitu sebagai tempat mendulang emas, namun bukan dengan cara rasional, tapi via ilmu gaib. Sayangnya banyak dari mereka yang belum tau bahwa di bukit itu memang benar-benar ada kandungan emas yang bisa ditambang. Masyarakat baru mengetahui hal ini secara luas saat beberapa perusahaan mulai mengekspolasi tempat ini sejak tahun 1998.

Yang membuat site tambang ini makin fenomenal adalah kandungan emasnya yang disebut sebut mencapai 2 juta ounce ( 56.700 kg) untuk emas dan 80 juta ounce (2.268.000 kg) untuk perak, belum lagi cadangan tembaganya. Kandungan yang katanya sebesar sekian ounce itulah membuat banyak pihak yakin bahwa Tumpang Pitu akan jadi The Next Grasberg. Grasberg sendiri adalah nama site tambang emas di Papua yang adalah tambang emas terbuka terbesar di dunia, yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia.

Tidak Ada Pemilik Mayoritas


Nah, bagi saya sendiri hal tentang kepemilikan inilah yang paling menarik. Jauh lebih menarik dari perkara kandungan emas Tumpang Pitu sendiri. Karena MDKA adalah perusahaan baru, maka yang biasanya dilihat calon investor adalah siapa dibelakang perusahaan tersebut. Yang bikin mentereng tentu saja adanya nama Saratoga Investama sebagai salah satu pemilik saham signifikan. Kita yang lama berkecimpung di BEI tentu belum lupa tentang fenomenalnya tokoh Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaja si pemilik Saratoga yang berhasil membangun Tower Bersama (TBIG) dari perusahaan nothing jadi sebonafit sekarang, belum lagi si Saratoga itu sendiri. Orang-orang ini memang investor yang top markotop.

Namun yang perlu diperhatikan adalah, Saratoga bukan satu-satunya pengendali di MDKA. Bahkan prosentase kepemilikan mereka hanya 16.82%. Masih ada grup Provident Capital dari Australia yang memegang 21.46% dan Pemkab Banyuwangi sebesar 6.55%, selain itu juga ada pemegang saham peorangan yaitu Maya Miranda Ambarsari (9,28%), Andreas Reza Nazaruddin (2,32%), Sakti Wahyu Trenggono (2,06%), MCB Wilis Holders (9,35%), MCB Emperor Holders (13,2%). Tidak adanya pemilik mayoritas pengendali ini bagi saya cukup rawan konflik kepentingan. Itu berdasarkan pengalaman melihat konflik yang sudah-sudah pada perusahaan dengan komposisi pemegang saham seperti itu sih. Meskipun, yah meskipun, deretan pemegang saham perorangan di atas bagaikan Hall Of Fame karena diisi orang-orang terkenal.

Menurut saya, potensi konflik kepentingan yang bersifat internal ini jauh lebih berbahaya ketimbang potensi eksternal. Sebut saja penolakan banyak pihak terhadap eksploitasi area Tumpang Pitu yang sudah didengungkan sejak dulu. Penolakan seperti itu sejatinya bukanlah hal baru, bahkan bisa dikatakan sudah hampir pasti terjadi di tambang manapun di Indonesia. Biasa lah, namanya juga yang (ingin) punya kepentingan kan banyak. Tapi potensi konflik internal dari manajemen ini lah yang perlu perhatian khusus.

Murni Spekulasi

Faktor belum berproduksinya perusahaan ini tetaplah harus jadi pertimbangan utama kita dalam memutuskan untuk berinvestasi di dalamnya. Bukannya saya mencoba menakut-nakuti atau membanding-bandingkan IPO perusahaan ini dengan Kasus Tambang Emas Busang dimana suatu perusahaan tambang asal Kanada yang listing di Bursa Efek Toronto mengklaim telah menemukan area dengan kandungan emas terbesar di dunia di desa Busang, Kalimantan Timur, dimana klaim ini membuat harga saham perusahaan tersebut melambung tinggi tanpa perusahaan pernah berproduksi sekalipun, dan di kemudian hari baru diketahui bahwa klaim tersebut adalah palsu. Tidak, saya tidak mencoba mengarahkan ke situ. Namun, MDKA menjadi susah dianalisis baik fundamental maupun teknikalnya karena mendapatkan dokumen resmi tentang perusahaan ini di internet sangatlah susah. Bahkan saya, sampai saat artikel ini ditulis, tidak bisa menemukan Laporan Keuangannya baik di situs resmi BEI maupun situs resmi perusahaan. Kalaupun ada, kita tetap tidak bisa mendapatkan gambaran keseluruhan tentang MDKA sampai perusahaan ini benar-benar berproduksi (atau collapse). Pergerakan harga sahamnya kedepan akan jadi bersifat spekulasi murni. Intinya, kita belum bisa menilai apapun. Perusahaan ini benar-benar masih Kucing Dalam Karung.

No comments:

Post a Comment