Wednesday, April 26, 2017

Nilai Pari Vs Nilai Pasar dari Saham

Dear pembaca

Seperti yang tercantum di portofolio saya tanggal 3 April 2017, saat ini saya sedang memegang saham BNLI (Bank Permata Tbk). Bedanya ketika itu portofolio saya masih 50:50 antara BNLI dan MFIN, maka sekarang mayoritas portofolio saya ada di BNLI karena baru saja dapat dana segar. Hehe

Nah ngomong-ngomong BNLI, bank ini dalam waktu dekat akan mengadakan right-issue (menerbitkan saham baru). Dalam keterbukaan informasi yang diberikan kepada bursa, ditulis bahwa saham BNLI ini mempunyai nilai nominal/nilai pari (par value) saham ini adalah Rp125, sama seperti saham yang beredar sekarang.
.

Beberapa pembaca yang bingung mengira bahwa right-issue BNLI itu akan ditetapkan di harga Rp125. kalau memang itu terjadi maka betapa timpangnya harga itu dibanding harga pasar BNLI sekarang yang sekitar Rp700-an per saham saat artikel ini ditulis. Oleh karena memang bukan itu yang dimaksud, maka mari kita membahas tentang apa itu nilai pari/nilai nominal saham dan perbedaanya dengan harga pasar saham.

Mari kita ilustrasikan bahwa ada 2 orang sahabat. Yang satu bernama Yenny, yang satu lagi Hana (dua perempuan ini jiwa entrepreneurnya strong sekali). Mereka berdua sepakat untuk mendirikan suatu usaha angkringan (Jogja cuy!). Masing-masing dari mereka menyetorkan dana Rp5 juta sebagai modal. Sehingga, total modal awal usaha angkringan ini adalah Rp10 juta rupiah. Dalam istilah korporasi (seandainya saja usaha angkringan tadi berbentuk Perseroan Terbatas/PT), modal Rp10 juta ini disebut modal disetor.

Ketika mendirikan perusahaan Angkringan ini di hadapan notaris, mereka berdua sepakat bahwa modal disetor Rp10 Juta tadi akan dinyatakan dalam bentuk 1000 saham. Artinya 1 saham mewakili modal disetor sebanyak Rp10.000. Nah, angka Rp10.000 inilah yang disebut nilai pari.

Karena Yenny dan Hana menyetorkan modal dengan besaran yang sama, maka masing-masing dari mereka kini memegang 500 saham. Artinya, prosentase kepemilikan Yenny dan Hana di perusahaan Angkringan tersebut adalah 50%:50%

Angkringan ini mulai dijalankan sejak 1 Januari 2012. Dari awalnya luntang-lantung sepi tidak ada pengunjung, perlahan-lahan Angkringan mulai punya pelanggan setia. Makanan yang enak, variatif ditambah yang jualan juga perempuan-perempuan cantik, maka Angkringan tadi mulai menghasilkan pemasukan yang lumayan pada tahun pertama. Di tahun ke lima (2017) malah Angkringan bisa membuka cabang di 4 tempat di seantero Jogja. Angkringan ini (sebut saja namanya Angkringan Payu) kini bisa menghasilkan laba bersih sekitar Rp 100 Juta setahun, dan total aset bersih (ekuitas)nya Rp 500 juta, punya karyawan 10 orang dan tentu saja akan terus bertambah.

Karena yakin bahwa Angkringan Payu ini sebenarnya bisa berkembang lebih besar dan lebih cepat
lagi, maka Hana dan Yenny mulai memikirkan untuk mencari sumber pendanaan baru. Karena enggan dibebani pinjaman bank, maka mereka berdua memutuskan untuk mencari partner yang mau jadi sesama pemilik Angkringan tersebut. Dalam hal ini, mereka memutuskan untuk menerbitkan saham baru. Karena menurut hasil perhitungan bisnis mereka membutuhkan dana segar sebesar Rp 150 juta, maka ya tentu saja mereka mencari mitra yang mau menyediakan dana sebesar itu.

Ternyata, mereka menemukan orang yang mau jadi mitra tadi. Namanya Mubarok. Mubarok bersedia menyediakan dana sebesar Rp150 juta, tentu saja dengan syarat ia juga jadi bagian dari para pemegang saham Angkringan Payu, dengan hak-hak yang sama dengan para pemegang saham pendiri usaha tersebut. Tentu saja, hak-hak yang melekat kepada pemegang saham, juga disesuaikan dengan jumlah saham yang mereka pegang masing-masing.

Nah, dalam situasi inilah akan muncul perbedaan antara nilai pari dan nilai pasar dari suatu saham.

pada 1 Januari 2012 (ketika perusahaan ini berdiri), Angkringan Payu sangatlah berbeda dengan kondisinya sekarang (2017). Ketika itu, Angkringan Payu masih belum menghasilkan apa-apa. Hanya sebuah perusahaan baru yang tidak dikenal orang, belum beroperasi apalagi punya karyawan. Dan untuk suatu perusahaan baru yang belum bisa apa-apa itu, Yenny dan Hana membayar 5 juta untuk bisa mendapatkan 500 saham, alias membayar Rp10.000 untuk 1 saham Angkringan Payu. Dalam hal ini, Nilai pari = Nilai pasar dari saham. Dan nilai pari ini wajib dinyatakan dalam sertifikat saham.


Kalau saja setelah usaha berkembang selama 5 tahun nilai pasarnya masih sama dengan nilai pari, maka situasinya akan sangat tidak adil bagi Yenny dan Hana:

-Dengan uang Rp150 Juta, maka Mubarok akan mendapatkan Rp150.000.000/Rp10.000 = 15 ribu saham.

-Karena ada 15 ribu saham baru yang nantinya akan jadi milik Mubarok, maka total saham beredar akan jadi (Jumlah saham awal) + 15 Ribu = 1000 + 15000 = 16000 saham

-Dengan total saham kini jadi 16000, maka secara prosentase si Mubarok akan menguasai 93.75% Angkringan tersebut! Sementara Si Yenny dan Hana, meskipun tetap memegang masing-masing 500 saham, namun secara prosentase kepemilikan mereka yang awalnya masing-masing 50% kini hanya jadi masing-masing (500/16000)*100% = 3,125%. Kecil sekali!

-Pertimbangkan bahwa Yenny dan Hana-lah yang membangun perusahaan ini dari awal berdiri hingga bisa sebesar sekarang selama 5 tahun yang penuh derai air mata perjuangan. Sementara Mubarok baru datang belakangan dan tidak pernah jadi bagian dalam perkembangan perusahaan selama 5 tahun itu. Betapa tidak adilnya jika Mubarok masih bisa mendapatkan saham dengan biaya yang sama dengan para pendiri perusahaan.

Karena akan jadi sangat tidak adil bagi Yenny dan Hana jika saham baru tersebut di jual ke Mubarok pada harga nilai pari, maka tentu saja mereka menolak skema semacam itu. Sehingga, Hanna dan Yeni berunding dengan Mubarok. Setelah perundingan yang rumit selama 2 minggu, akhirnya Mubarok setuju bahwa uang 150 juta yang akan ia serahkan pada Angkringan Payu akan ditukar dengan 100 saham saja, bukan 15.000 saham. Artinya, Harga pasar dari saham tersebut adalah (Rp150 juta/100 saham) = Rp 1.500.000 per saham.

Setelah transaksi tadi selesai, maka kini jumlah saham beredar dan prosentasi kepemilikan saham pun berubah. Jika awalanya jumlah saham ada 1000 saham, kini berubah menjadi :

     = 1000 saham + 100 saham
     = 1100 saham

Dan prosentasi kepemilikan perusahaan berubah juga, dari 50% Yenny dan 50% Hana menjadi:

     Kepemilikan Yenny       = 500 saham/1100 saham = 45,5%
     Kepemilikan Hana         = 500 saham/1100 saham = 45,5%
     Kepemilikan Mubarok   = 100 saham/1100 saham  = 9%

Disinilah terlihat perbedaan yang nyata antara nilai pari dan nilai pasar dari saham yang dibeli Mubarok:

     Nilai pari per saham      = Rp10.000
     Nilai pasar per saham    = Rp1.500.000

Dari angka sekian, tampak perbedaan yang jauh sekali. Dan ini fenomena yang lumrah terjadi.

Lalu, apa fungsi dari nilai pari?

Seperti tampak dari ilustrasi diatas, nilai pari tidak berubah alias bersifat konstan. Kalaupun berubah, maka itu biasanya merupakan hasil dari stock split (pemecahan nilai saham) atau reverse split (penggabungan nilai saham). Dua aksi tadi pun tidak berdampak pada esensi nilai pari, karena jika saham dipecah, maka nilai pari juga dipecah sesuai proporsi pemecahan saham tadi. Begitu juga pada reverse split.

Nilai pari bersifat konstan/tidak berubah, karena fungsinya adalah menyetarakan kedudukan antara saham satu dengan saham lainnya.

Pada contoh diatas, satu lembar saham bernilai pari Rp10.000 yang diperoleh Yenny dan Hanna adalah sama kedudukannya (hak dan kewajibannya) dengan satu saham bernilai pari Rp10.000 yang dipegang Mubarok, meskipun mereka memperoleh saham tadi diperoleh pada harga pasar yang berbeda: yang satu Rp10.000 dan yang satu Rp1.500.000 per sahamnya.

Dengan kata lain, Mubarok, dengan membayarkan Rp150 juta, dianggap ikut juga menyetorkan modal  pada saat pertama kali perusahaan berdiri, dimana modal yang ia sertakan adalah sebanyak (100 saham x Rp10.000) = Rp1 juta. Ya, dengan nilai pari yang sama, maka Mubarok dianggap setara dengan pemegang saham pendiri, karena seolah-olah ia juga ikut hadir dalam proses setor modal pendirian perusahaan. Kini, setelah hadirnya saham-saham baru Mubarok, maka modal disetor Angkringan Payu adalah

                               = (saham beredar) x (nilai pari)
                               = 1.100 x Rp10.000
                               = Rp 11 juta

Salah Paham Berita Online

Nah, seringkali, di berita-berita online memberitakan tentang aksi korporasi secara salah. Biasanya mereka menampilkan nilai nominal/nilai pari seolah-olah sebagai nilai pasar dari suatu saham. Perhatikan berita berikut:

Judulnya fatal sekali

Dalam judul berita di atas, tampak seolah-olah bahwa KKGI akan melakukan buyback (membeli sahamnya sendiri di pasar) di harga Rp10 per saham. Padahal saat berita itu diturunkan, harga pasar KKGI adalah berkisar Rp2.300 an per saham.

Padahal yang terjadi saat itu sebenarnya adalah ada 2 kebijakan terpisah:

1. KKGI akan melakukan buyback dengan dana maksimal Rp150 milyar 
2. KKGI akan memecah saham 1:5. Sehingga, nilai pari saham yang awalnya Rp50 per saham
    menjadi Rp10 per saham.

Sekali lagi, kita harus kritis menyikapi berita-berita semacam ini. Karena yang dipertaruhkan adalah uang hasil kerja kita. Si penulis berita tidak mengalami kerugian apapun dengan menulis judul ngawur semacam itu. Jadi, jangan ditelan bulat-bulat.

Thursday, April 13, 2017

Lenyapnya KPC & Arutmin di LK BUMI (Cara Kerja Bumi Resources Part 3)

Setelah cukup lama gak  melanjutkan tentang BUMI, kali ini saya ingin kembali membahas cara kerja BUMI kembali. Klik disini untuk membaca prekuel artikel ini. Kali ini, yang saya bahas adalah cara BUMI menyembunyikan aset berharganya: Arutmin & KPC.

Cara BUMI memasukkan KPC dan Arutmin di Laporan Keuangan

banyak yang bilang, BUMI kini asetnya minus, kebanyakan hutang, dan penuh manipulasi.

Di sisi lain, banyak orang terheran-heran. Bagaimana BUMI yang asetnya minus  itu kini harga sahamnya naik dari 50-an jadi 400-an saat artikel ini ditulis (tentu saja dengan kadar kolestrol gorengan yang tinggi).
Orang hanya dibuat terheran-heran, ketika investor retail pada menjauh dari BUMI (terutama pada saat harga menyentuh Rp50 per saham). Investor-investor kelas kakap malah berebut di pengadilan, baik di Pengadilan Niaga Jakarta maupun pengadilan di London, Singapura, dan New York. Apa yang diperebutkan dari perusahaan ber aset minus seperti itu?

Sebelum membedahnya, mari kita lihat bagaimana BUMI memperlakukan KPC dan Arutmin di hadapan publik. Berikut screen shot dari web KPC:

Tidak begitu jauh dengan ketika berhadapan dengan publik atau wartawan, BUMI selalu menjunjung KPC dan Arutmin sebagai anak usaha unggulan. Selalu saja mereka mempresentasikan kinerja operasi KPC dan Arutmin sebagai yang utama, jadi secara alam bawah sadar publik diarahkan untuk menganggap bahwa KPC dan Arutmin sebagai anak usaha dari BUMI. Seperti yang dicantumkan di website KPC tadi: "KPC is a subsidiary of PT Bumi Resources Tbk".

Benarkan demikian?

Well, ternyata bukan. Setidaknya kalau dilihat dari segi laporan keuangan.

Meskipun secara kepemilikan, BUMI memang pemegang saham mayoritas di KPC dan Arutmin, namun faktanya di laporan keuangan (dan dokumen-dokumen resmi lainnya) BUMI sama sekali tidak memperlakukan mereka sebagai anak usaha.

BUMI memperlakukan KPC dan Arutmin sebagai Joint Venture.

Dalam chart yang saya buat tahun lalu mengenai struktur anak usaha BUMI (klik disini), tampak bahwa BUMI menguasai KPC sebesar 51% (25% kepemilikan langsung dan 26% melalui PT Sitrade Coal), dan Arutmin 70%. Logika dasar kita yang bilang 'otomatis mereka adalah anak usaha BUMI dan laporan keuangannya akan dikonsolidasikan ke laporan keuangan BUMI' akan langsung sirna begitu BUMI bilang 'mereka bukan anak usaha, melainkan Joint Venture (Badan Usaha dengan Pengendalian Bersama) dimana BUMI adalah salah satu pengendalinya.' Dan memang itulah yang BUMI lakukan.

Perhatikan jawaban BUMI dibawah inidalam public expose Desember 2016 ketika ditanya salah satu hadirin: "Mengapa beban pendapatan BUMI bisa 0 (zero)?"

Perhatikan bagian yang ditandai warna biru, dan lebih fokus lagi ke bagian yang warna merah


Lagi-lagi, BUMI memanfaatkan celah hukum, dalam hal ini PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), untuk 'menenggelamkan' KPC dan Arutmin. Cukup menyatakan mereka berdua sebagai joint venture, bukan anak usaha, maka kewajiban untuk konsolidasi 2 perusahaan tambang ini pun sirna:

  • Tidak perlu memasukkan besaran aset bersih KPC & Arutmin
  • Tidak perlu memasukkan laba KPC & Arutmin ke laporan laba rugi BUMI.
Alhasil, dalam rilis laporan keuangan BUMI, bisa dibilang jejak KPC dan Arutmin nyaris hilang sama sekali.


Tapi, biar gimana pun tetap KPC dan arutmin tetap harus dicantumkan ke LK kan? metode apa yang dipakai BUMI untuk memasukkan 2 anak usahanya tadi? berapa nilai yang dicatatkan?

Gampang. Karena KPC & Arutmin 'bukan anak usaha' BUMI, maka yang dimasukkan ke LK ya cuma biaya yang diperoleh BUMI untuk mendapatkan saham 51% KPC dan 70% Arutmin. Berapa biaya yang dikeluarkan dan dicatat di LK BUMI? perhatikan catatan berikut:

sumber: LK BUMI full year 2016
Tercatat bahwa Nilai Arutmin dan KPC yang dimasukkan ke LK BUMI hanya masing-masing USD274.8 juta dan USD 285 juta. Alias kalau dirupiahkan hanya masing-masing 3.664 Trilyun rupiah dan 3.8 trilyun rupiah.

apakah anda yakin bahwa ada seseorang yang mau menawarkan 51% kepemilikan tambang terbesar no. 1 dan 70% kepemilikan tambang terbesar no.2 di Indonesia hanya seharga 3.664 dan 3.8 trilyun? ditambah kedua tambang tadi sangat efisien karena terletak di pinggir laut sehingga selalu siap angkut (biaya produksi sangat rendah)? ditambah lagi batubara yang dihasilkan berkualitas tinggi? saya yakin tidak. Adaro yang hanya punya 1 tambang unggulan di Tabalong Kalsel saja 100% sahamnya dihargai pasar Rp60.4 Trilyun. Lhah ini BUMI malah punya tambang utama ada 2, terbesar di indonesia lagi!

Mengapa Harga Perolehan KPC dan Arutmin Bisa Begitu Murah?

Penjelasan untuk hal ini sebenarnya agak panjang. Kita harus balik mundur ke tahun 2003 dulu ketika pertama kali Bakrie melalui BUMI berhasil mendapatkan KPC diharga luar biasa murah dari Rio Tinto. Hal tersebut melibatkan kemampuan negosiasi dan lobby Bakrie kepada kalangan Pemerintah Pusat, Pemda Kutai Timur & Kaltim, serta Rio Tinto sendiri. Pembahasan tentang kontroversi "Obral" saham KPC ini bisa anda baca  di Google dengan mengetik kata kunci: KASUS DIVESTASI KPC.



Sekarang masih menggunakan gambar yang sama, perhatikan bagian "Laba Komprehensif" dan "Dividen". Untuk laba komprehensif saja, di 2016 KPC menyumbangkan USD65.5 juta untuk BUMI, alias 873 milyar!

Dari USD65.5 juta itu, USD42.3 juta pun sudah diberikan ke BUMI dalam bentuk dividen alias uang cash. Kalau dirupiahkan, dividen yang diterima BUMI, untuk 2016 dari KPC saja adalah sebesar Rp564 milyar.

Cara BUMI menyembunyikan Dividen KPC dan Arutmin

Nah, langkah selanjutnya adalah kita menelusuri bagaimana uang kas dari KPC (Arutmin di 2016 tidak membagikan dividen) tadi diperlakukan dalam laporan keuangan BUMI.

Seperti yang sudah saya bahas di artikel ini, dalam laporan keuangan, Arus Kas adalah bagian yang paling sulit dimanipulasi. Sulit dimanipulasi karena laporan arus kas benar-benar hanya memperhitungkan uang yang tersedia baik yang ditangan perusahaan itu maupun di rekening bank perusahaan. Tidak ada namanya penyusutan (kecuali selisih kurs, yang biasanya sangat kecil), tidak ada asumsi ini itu, murni senilai apa yang dimiliki perusahaan saja.

Berarti, Arus kas BUMI bebas manipulasi dong? Dividen dari KPC tetap keliatan dong?

Sayangnya, ternyata masih ada utak-atik itu.

perhatikan catatan laporan keuangan 2016 BUMI berikut ini:



 See? Alih-alih diberi sebagai dividen, dividen dari KPC (yang besarnya USD42.95 juta) ditambah dividen dari anak usaha/joint venture lain (sehingga totalnya USD55 juta), justru diberikan seolah-olah sebagai utang. Jadi ceritanya kurang lebih begini:


Manajemen BUMI dan manajemen KPC masing-masing sudah tahu bahwa KPC, seperti biasa, untung besar tahun 2015. Anggap saja untungnya 100 juta dolar. Manajemen BUMI dan KPC juga sama-sama tahu bahwa dividen yang akan dibagikan dari keuntungan 100 juta dollar itu adalah 65 juta dolar. Manajemen BUMi & KPC juga tahu, bahwa dividen tadi akan dibagikan pada Juli 2016. Lalu Manajemen BUMI (kita singkat MB) pun menemui Manajemen KPC (kita singkat MK).

MB                       : Bro, lu mau bagi dividen ke gua kan taon ini?
MK                       : Iye bang. Kenapa?
MB                       : lu mau jabatan lu aman gak di KPC?
MK                       : Njir mampus gua, nadanya mulai gak enak nih hehe. Gue harus ngapain bang?
MB                       : Hehe sante bro. Lu bagi dividennya Juli nanti kan? gue minta dividen khusus gue                                 ngasihnya dipercepat bro. Jangan Juli, tpi Februari ini aja deh. Gimana?
MK                       : Mmmmm bisa sih bang. Tapi ntar pembukuannya jadi gimana kalo dividen udh                                     dibagi duluan?
MB                       : Gampang mah kalo itu. Lu tinggal catet aja bahwa duit itu lu kasih ke gue bukan                                   sebagai pembayaran dividen, tapi piutang di LK lu. Sementara di LK gue, gue                                     catat itu sebagai utang.
MK                       : lhah kalo dicatat sebagai utang, berarti abang harus balikin ke ane dong? gimana                                   cara balikinnya? kan kalo dividen ga perlu dibalikin?
MB                       : Itu mah gampang bro. Gue balikinnya dengan cara: ketika nanti Juli lu mau                                      bagi dividen, lu ga usah kasih dividen sama sekali ke gue.
MK                       : Jenius pangkat dua abangku ini.

(besaran uang dan tanggal/ bulan dalam ilustrasi diatas adalah fiktif dan hanya untuk kepentingan ilustrasi)

Akhirnya, karena dividen yang diterima dicatat sebagai utang di BUMI, maka duit dividen tadi yang harusnya masuk di Arus Kas Dari Aktivitas Operasi (yang kalau makin positif makin baik) malah lenyap juga, dan kemungkinan masuk ke akun Kenaikan Piutang Pihak Berelasi (arus kas dari aktivitas investasi) yang besarannya USD 57.5 juta. Dan karena Dividen dianggap utang, yaudah, liabilitas BUMI pun makin besar, bukan ekuitasnya.

Kaitan Angka 25% kepemilikan di KPC Dengan Pajak Dividen

Seperti yang sudah saya sebutkan, kepemilikan 51% BUMI di KPC dibagi dua: kepemilikan langsung 26% dan melalui Sitrade Coal 25%. Mengapa angkanya lebih besar/sama dengan 25%? Murni karena 51% dibagi dua kah?

Tidak juga. Ada pertimbangan hukum dibalik itu. Perhatikan bagian penjelasan Dari Undang-Undang Pajak Penghasilan pasal 23 berikut ini:

See? angka 25% dalam kepemilikan BUMI secara langsung dan 26% kepemilikan bumi via Sitrade Coal di KPC bukanlah angka random. Angka ini muncul untuk menghindari pajak dividen yang akan dikenakan terhadap dividen dari KPC seandainya saja kepemilikan mereka dibawah itu. Jika kita investor retail kena pajak dividen 10% (jadi jika diumumkan pembagian dividen sebesar Rp1000 persaham, kita hanya akan terima Rp900 per saham), maka BUMI, dengan kepemilikan dipecah jadi 25% akan tetap bebas dari pajak dividen.

Penutup

Seperti yang sudah saya tulis di dua artikel sebelumnya tentang cara kerja BUMI, kali ini kita melihat sendiri bagaimana BUMI tetap bisa secara legal melenyapkan aset-aset pentingnya di laporan keuangan. Kalau kita mau jeli, dan tentu saja mau belajar tentang hukum korporasi, kita akan banyak menemui hal-hal menarik di LK BUMI, terutama di bagian CALK (Catatan Atas Laporan Keuangan). Jangan terkecoh dengan tulisan yang kecil dan panjang-panjang. Memang dirancang seperti itu agar kita malas membaca.

Oke, selamat terkaget-kaget!


Baca juga artikel saya yang masih berkaitan dengan artikel ini:

Diagram struktur anak usaha BUMI

Cara Kerja BUMI Resources Part 1

Cara Kerja BUMI Resources Part 2

Thursday, April 6, 2017

Mandala Multifinance (MFIN)

di bulan Februari 2017, pernah saya menulis tentang Menyaring Saham Dengan Kriteria Fundamental Yang Extreme. Di situ saya menulis bahwa kadang-kadang dalam situasi yang ekstrim, pasar menawarkan harga saham perusahaan yang bahkan masih dibawah nilai yang berhasil ia kumpulkan di periode yang sama (dan itu masih belum termasuk aset bersih yang ia miliki sendiri).

Saya melakukan screening dengan cara tersebut di penghujung tahun 2016. Tentu saja saat itu IHSG tidak semahal sekarang (masih 5000-5100, sekarng sudah diatas 5600). Jadi ketika kala itu masih bisa menemukan 1-2 perusahaan dengan kriteria di artikel tersebut, maka saat ini bisa dibilang mustahil menemukannya dengan cara yang sama.

2 Perusahaan yang saya temukan dengan menggunakan metode tadi adalah Mandala Multifinance (MFIN) dan TKIM (Pabrik Kertas Tjiwi Kimia).

Saya memilih untuk fokus di MFIN. Terutama sekali karena, jika anda mengamati portofolio saya, saya memang sudah melihat peluang di MFIN ini sejak awal menulis blog yang anda cintai ini. Ya, sejak pertengahan 2015. Cukup lama dinanti, malah dikemudian hari makin turun hingga 750-an. Meski sempat keluar dari perusahaan tersebut (misalnya posting portofolio ini) tapi ujung-ujungnya masuk lagi, karena menurut saya terlalu menarik untuk dilewatkan.

MFIN merupakan perusahaan pembiayaan yang fokus pada pembiayaan kendaraan bermotor (leasing). Sebagai perusahaan leasing, MFIN memang masih kalah populer dibandingkan WOMF apalagi Adira. Perusahaan ini jarang beriklan di tv-tv, dan lebih mengincar daerah-daerah yang agak pelosok dibanding Adira.

Namun justru disitulah keunikannya menurut saya. perusahaan yang kurang terkenal ini diam-diam punya jaringan kantor cabang yang luas. berikut peta persebaran kantor cabangnya:
per 31 Desember 2015, kantor pelayanan MFIN ada 247 dan tersebar dari Aceh hingga Sorong
Waktu saya menghadiri pemakanan salah seorang kerabat di Makale Tana Toraja yang jaraknya 10 jam perjalanan darat dari Makassar pun, saya beberapa kali melihat spanduk MFIN ini bertebaran. ternyata memang benar, Sulawesi Selatan adalah salah satu basis pemasaran MFIN. Di satu provinsi ini saja, ada 26 kantor pelayanan MFIN.

MFIN merupakan bagian dari grup usaha Lautan Teduh yang dikuasai keluarga Guan. Lautan Teduh sendiri merupakan dealer spesialis sepeda motor Yamaha wilayah sekitar Lampung. Jadi situasinya cukup unik: si anak usaha punya wilayah kerja yang jauh lebih luas dari si induk usaha.

Si pemegang saham utama juga sangat jarang koar-koar di publik. Malah kalau kita tidak mencari sendiri, kita tidak akan melihat sekilas pun berita tentang emiten ini di layar Online Trading.

Bagaimana perkembangan kinerja MFIN?

Dari chart di atas tampak bahwa ekuitas MFIN naik secara konstan dari tahun ke tahun. Rata-rata kenaikan Ekuitas MFIN dalam 5 tahun tahun terakhir adalah 15.34% per tahun.
Namun anda perlu memberikan perhatian khusus pada angka liabilitas.

Jika biasanya penurunan liabilitas adalah pertanda yang baik bagi perusahaan, namun tidak bisa disimpulkan hal yang sama untuk MFIN. Mengingat MFIN adalah perusahaan leasing dengan sumber dana cepat-nya adalah utang bank dan obligasi, maka menurunnya liabilitas MFIN bisa diartikan bahwa perusahaan tidak banyak menyalurkan pembiayaan (sehingga ia tidak mengajukan uang pinjaman ke bank/menerbitkan obligasi). 
Benar saja, sesuai surat penjelasan manajemen kepada BEI, dijelaskan mengapa mengapa liabilitas perusahaan keuangan ini (yang harusnya wajar untuk memiliki liabilitas besar) bisa menurun drastis di 2016:

Dari segi laba-rugi, tampak bahwa MFIN masih menunjukkan kinerja positif dari tahun sebelumnya (2015), namun kenaikan laba tersebut lebih karena langkah efisiensi saja. Seperti yang sudah disebutkan di surat di atas, pembiayaan tahun 2016 lebih rendah dari setahun sebelumnya. Tercermin dari laporan pendapatan pembiayaan dibawah ini:
Tampak jelas bahwa pendapatan menurun dari 1.72 trilyun di 2015, menjadi 1.46 trilyun di 2016

Dari segi arus kas, tampak bahwa tiap tahun uang dari aktivitas operasi (uang yang dikumpulkan dari setoran cicilan pelanggan) hampir selalu setara dengan uang yang dikeluarkan untuk aktivitas pendanaan (pelunasan obligasi, utang bank, kasih dividen ke pemegang saham, dll). di 2014, tampak uang yang masuk malah minus. Mungkin karena saat itulah MFIN sibuk menyalurkan pembiayaan baru (arus kas pendaaan positif, karena ngambil utang dan baru dibalikin tahun depannya).

Arus kas pendanan di 2016 tampak sangat mencolok minusnya. Seperti yang disebutkan di awal analisis keuangan, MFIN sibuk mengurangi utangnya dengan melunasi dalam jumlah besar di 2016. selain itu, MFIN tetap setia membagi dividen kepada pemegang sahamnya.

So? Masih Layak Investasi?

Meski sudah menanjak 100% harganya sejak awal Februari hingga awal april ini, namun menurut saya, MFIN masih undervalued. Hanya saja, namanya saja baru menanjak tinggi, anda harus ingat dengan konsep cooling down (turun/stagnan beberapa saat setelah naik tinggi dalam waktu cepat). Dan fase cooling down ini saya tidak paham kapan selesainya.

Satu yang anda harus perhatikan, yaitu perkembangan pasar otomotif di Indonesia tahun ini dan kedepannya. Jika di 2013 OJK mengetatkan aturan leasing motor dengan DP minimum 20% bisa membuat sektor ini lemas (dampaknya terasa hingga 2016). maka kini nampaknya sudah mulai longgar dan orang sendiri sudah mulai terbiasa dengan aturan tersebut.

Dari pihak Asosiasi Industri otomotif Tanah Air pun memprediksi pertumbuhan industri ini di 2017 akan sekitar 7%. Kalau MFIN mau bertahan (dan berkembang), MFIN harus segera cepat membentuk tim pemasaran yang mumpuni untuk memanfaatkan momentum ini. Dan berdasarkan kinerjanya yang dulu-dulu (selama manajemennya belum ganti), saya yakin MFIN bisa meraihnya.

Dari screenshot di bawah dari situs Reuters, tampak MFIN masih menarik dibanding rata-rata perusahaan lain di industri yang sama. ROI (return on investment, perbandingan jumlah laba terhadap aset-aset [baik milik sendiri maupun utang]) mencapai 8.46%. sementara rata-rata industri hanya 1 koma sekian persen. Begitu jua ROE (return on equity, perbandingan laba terhadap aset bersih murni milik perusahaan) mencapai 14.98%, bandingkan dengan rata-rata perusahan lain hanya 11.60%. Kinerja yang cukup baik tadi ternyata hanya dihargai PER 8.51%.

Target harga? kenaikan sebesar 100% dari harganya sekarang. Tapi ingat, ada fase cooling down yang saya tidak tahu sampai kapan berakhirnya.