Dear readers.
tongkang yang banyak di sungai Mahakam |
Nah setelah lumayan lama saya tidak menulis artikel di blog ini, akhirnya hari ini saya memutuskan untuk kembali berbagi pada saudara-saudari sekalian, tentu tidak jauh-jauh dari dunia pasar saham di Indonesia. Memang untuk memulai menulis lagi adalah langkah yang berat, karena terlalu mudah untuk dilakukan sampai-sampai dengan mudah juga saya menundanya, hehe.
Sedikit flashback tentang perjalanan saya ke Samarinda di akhir Juli kemarin. Selain urusan keluarga dan birokrasi yang njlimet, saya juga mengamati aktivitas ekonomi utama di kota ini: tambang batubara. Yup, tentu tidak jauh-jauh juga temanya dari "Penurunan Harga Komoditas" yang dampaknya sangat terasa di kota ini. Ibu saya bercerita tentang banyaknya karyawan-karyawan perusahaan tambang yang dirumahkan atau di PHK lantaran permintaan yang menurun serta harga yang anjlok. Padahal sebelum-sebelumnya orang-orang yang bekerja di sektor batubara dikenal sebagai orang-orang bergaji besar. Perusahaan tambang yang kecil-kecil banyak yang memilih untuk berhenti beroperasi. Kalo yang skala menengah dan besar sih, tetep aja jalan. Kalau Anda jalan-jalan ke tepi Sungai Mahakam sekarang, Anda akan melihat sendiri bahwa kapal-kapal tongkang batubara masih hilir mudik membawa angkutan mereka dengan ramainya, terlepas dari situasi ekonomi dan harga batubara saat ini.
Sedikit flashback tentang perjalanan saya ke Samarinda di akhir Juli kemarin. Selain urusan keluarga dan birokrasi yang njlimet, saya juga mengamati aktivitas ekonomi utama di kota ini: tambang batubara. Yup, tentu tidak jauh-jauh juga temanya dari "Penurunan Harga Komoditas" yang dampaknya sangat terasa di kota ini. Ibu saya bercerita tentang banyaknya karyawan-karyawan perusahaan tambang yang dirumahkan atau di PHK lantaran permintaan yang menurun serta harga yang anjlok. Padahal sebelum-sebelumnya orang-orang yang bekerja di sektor batubara dikenal sebagai orang-orang bergaji besar. Perusahaan tambang yang kecil-kecil banyak yang memilih untuk berhenti beroperasi. Kalo yang skala menengah dan besar sih, tetep aja jalan. Kalau Anda jalan-jalan ke tepi Sungai Mahakam sekarang, Anda akan melihat sendiri bahwa kapal-kapal tongkang batubara masih hilir mudik membawa angkutan mereka dengan ramainya, terlepas dari situasi ekonomi dan harga batubara saat ini.
Lalu, hubungannya sama judul postingan diatas apa?
Nah, sesuai kaidah value investing, yaitu membeli saham perusahaan yang bagus pada harga yang undervalue. Kalau penurunan IHSG saat ini dari posisi puncaknya tanggal 7 April kemarin sudah -18%, bandingkan dengan penurunan emitan PTBA (Tambang BAtubara Bukit Asam) yang posisi puncaknya pada 1 Desember 2010 lalu turun hingga posisinya saat ini di 5300, meski sempat mengalami ekspektasi rebound di pertengahan 2014 kemarin, totalnya sudah turun sekira 75%. Atau yang lebih parah lagi ada KKGI yang pertengahan 2012 lalu mencapai puncaknya di harga 8450, kini hanya dihargai 760 per lembar saham, alias udah lengser diatas 90%. Yang lebih-lebih parah lagi? BUMI, tentu saja. Tidak perlu ditanya.
Penyebab turunnya kinerja Emiten sektor ini tentu sudah banyak diketahui orang banyak, yaitu mengendornya pertumbuhan ekonomi China. China yang sebelumnya mencatat pertumbuhan ekonomi yang ajigile (dua digit bro!) kini sudah ga serakus dulu. permintaan impor batubara dari Indonesia jadi berkurang. Perusahaan batubara yang sebelumnya giat-giat menggali lebih banyak batubara kini harus gigit jari dulu karena produksi yang berhasil mereka tingkatkan malah berbanding terbalik dengan anjloknya harga batubara yang sempat melambung, karena permintaan menurun.
Lalu apakah kondisi akan terus seperti ini? hmmm... saya ragu. Terutama karena alasan sifat Kinerja perusahaan Komoditas yang siklikal. Artinya, mereka mempunyai siklus, karena produk yang mereka hasilkan harganya ditentukan oleh pasar, bukan oleh perusahaan itu sendiri. Namanya juga pasar, kalau ada naik pasti bakal ada turun, begitu juga sebaliknya. Kinerja emiten yang bersifat siklikal ini lah yang membuat Warren Buffett menjaui saham komoditas. Yang beliau inginkan adalah kinerja perusahaan yang profit terus tapi stabil. Nah berhubung saya juga tidak 100% penyembah WB, maka kali ini saya mencoba melihat penurunan harga saham itu sebagai peluang.
Sektor batubara juga sebenernya mendapat angin yang sangat segar ketika pemerintah mulai menjalankan proyek listrik 35.000 MW. Faktanya saat ini 46% pembangkit listrik di Indonesia adalah PLTU, yang mana bahan bakarnya adalah batubara. Saya tidak terlalu ambil pusing sama angka 35.000 MW tadi, karena bagi banyak orang angka segitu sangatlah besar dan belum pernah ada sejarahnya di negeri ini, suatu era pemerintahan bisa membangun bahkan setengah dari 35.000 MW itu dalam waktu 5 tahun. Namun, kebutuhan listrik bakalan terus naik, dan pembangkit listrik juga mulai banyak di ground-breaking proyeknya, dimana banyak dari proyek-proyek itu basih berupa PLTU yang butuh batubara, meskipun belum tentu mencapai kapasitas 35.000 MW tadi.
Trus gimana sama urusan penggunaan energi terbarukan? ntar dulu deh kalo bicara itu. Dari dulu gembar-gembornya sama: 'Energi Terbarukan Akan Mendominasi', faktanya sampe sekarang gak jalan-jalan. Jangankan Tenaga Surya, tenaga Nuklir yang udah ditemukan sejak awal abad 20 aja, sampai saat ini ga ada dengungnya di negara ini. Kita hanya punya reaktor nuklir untuk kepentingan yang sangat terbatas.
Selain emiten di sektor batubara tadi, emiten lain yang cukup menarik perhatian adalah PGAS (Perusahaan Gas Negara Tbk). Sama-sama bergerak di bidang komoditas, harganya juga anjlok dari 6000-an di akhir 2014 hingga saat ini di 3400-an, alias anjlok 42%. Namun bedanya adalah PGAS sampai saat ini lebih banyak bergerak di bidang Distribusi Gas, belum mendominasi di sektor Hulu nya. Untungnya, disaat kinerja laba bersih mereka menurun saat ini, mereka masih fokus untuk pengembangan infrastruktur distribusi gas, terutama untuk jaringan rumah tangga. Memang dapurnya siapa yang kompornya gak nyala meski saat krisis? Jadi tentu ini langkah yang baik. Dan, PGAS juga mulai berinvestasi di sektor hulu migas via anak usahanya, PT Saka Energi Indonesia.
Anjloknya harga saham PGAS bagi saya hanyalah sentimen saja. Perusahaan masih mencetak laba bersih, artinya ekuitas tetep naik meski melambat. Jadi aneh juga kalau ekuitas sejatinya naik tapi harga saham turun hanya karena prosentase laba bersihnya turun. Kan perusahaan tetap mencetak laba?
Mengenai emiten batubara mana yang paling layak di beli sahamnya, saya pikir sudah banyak dibahas di blog-blog investasi ternama di negeri ini, jadi cari sendiri ya.... hehe. Namun kriteria pencariannya bagi saya gampang kok. Yang penting hutang tidak lebih besar dari ekuitas, masih bisa mencetak laba (meskipun menurun), PBV dan PER rendah (Hampir semua emiten batubara memenuhi dua syarat ini), dan track record, tentu saja.
N.b: Untuk mempertanggung jawabkan isi blog ini, mulai minggu depan saya akan menampilkan screenshot dari software trading di laptop saya, menampilkan saham apa saja yang sedang saya pegang, tanggal awal saya memegang saham tersebut, harga rata-rata pembelian, serta prosentase kenaikan/penurunan harga. Saat ini saya belum bisa melakukannya karena sedang migrasi ke akun saya yang baru di perusahaan sekuritas.
No comments:
Post a Comment