Monday, August 31, 2015

Bandarmology, haruskah kita ikut?

Jujur saya agak ngekek waktu pertama kali baca istilah ini. "What? Another Money Game?" kira-kira begitu yang ada di kepala saya. Kalau kita ingat nasehat bijak para investor senior: "Tidak pernah ada yang baru di pasar saham. Peristiwa saat ini, pasti sudah pernah terjadi di masa lalu." Jadi yah saya tidak tertarik untuk menerapkannya secara serius. Hanya tetap saja mengundang rasa penasaran untuk mengetahui cara kerjanya.

Jadi gini ceritanya. 2 Hari yang lalu saya jalan-jalan ke Gramedia Yogyakarta. Seperti biasa saya langsung nyosor ke bagian buku-buku investasi, meskipun saya tahu sebagian besar pasti cuma buku-buku dengan judul yang menunjukkan kurang pedenya si penulis akan kontennya, sampai-sampai harus membuat judul yang hiperbola: "Cara cepat xxxx, Jurus Para Master xxx, Jadi Kaya ala xxx". Tapi kali ini ada satu buku yang judulnya unik: Bandarmology . Jadi kira-kira maknanya adalah Ilmu tentang perbandaran di pasar modal. Penulisnya adalah mas Ryan Filbert, salah satu penulis buku trading saham populer di Indonesia.


Setelah googling di internet, ternyata istilah ini sudah cukup populer. Mungkin ya terkenalnya semenjak buku mas Filbert tadi terbit.

Istilah bandarmology digunakan untuk menggambarkan suatu jenis ilmu dalam bertransaksi, dimana yang coba dianalisis bukanlah faktor fundamental atau teknikalnya, namun lebih kepada "Siapa dalang dari suatu transaksi besar yang yang berdampak pada pergerakan harga". Jadi ada yang mengklaim bahwa bandarmology adalah teknik baru selain dua teknik analisis tadi. Meski sebenarnya "teknik baru" macam ini sudah banyak datang dan pergi dalam sejarah pasar modal dunia. Sebut saja istilah "January Effect" di Amerika Serikat. Teori January Effect mengungkapkan bahwa harga-harga saham perusahaan kecil selalu rendah pada sebelum Januari, dan akan naik setelah itu, lantaran pemegang saham ritel menjual sahamnya demi menghindari pajak yang dihitung pada akhir Desember.

Nah bandarmology adalah teknik untuk membaca siapa pelaku jual beli saham dengan skala besar (big player) yang mampu menggerakan harga saham tersebut. Pihak-pihak yang disebut bandar ini memang juga susah untuk diketahui personalnya, namun setidaknya kita bisa tahu sekuritas mana yang menjadi brokernya.

Teori Dow menyatakan bahwa trend pergerakan harga pasar terbagi menjadi 3 fase:
  1. Fase Akumulasi

    Fase ini adalah awal mula permainan. Situasi pasar sangat tidak bergairah. Sentimen negatif berseliweran dimana-mana. tidak ada ketertarikan bagi para investor kecil untuk membeli saham-saham yang ada dalam fase ini. Namun, justru para pemain besar diam-diam mulai mengumpulkan saham yang lagi murah-murahnya itu.
     
  2. Fase Partisipasi Publik

    Setelah masa-masa tekanan jual selesai, keadaan mulai berbalik. Mulai bermunculan sentimen-sentimen positif yang sebelumnya susah sekali ditemukan. Investor ritel mulai "menyadari" perubahan tren ini lalu membeli saham yang sebelumnya mereka abaikan itu. Pemborongan saham terus berlanjut sampai rasa takut (fear) berbalik menjadi rasa rakus (greed). Berita-berita positif terus bermunculan sampai harga saham tersebut naik tinggi.
  3. Fase Distribusi

    Saat harga sudah tinggi, para pemain besar (bandar) mulai pelan-pelan menjual sahamnya kepada investor-ivestor lain yang lebih kecil dan lebih 'tidak tahu' akan keadaan yang sebenarnya. Para big player ini mempunyai akses ke informasi-informasi secara langsung dan lebih cepat daripada investor lainnya. Mereka cerdas dan memiliki perhitungan. Pada harga yang tinggi merek mulai melepas saham untuk meraih keuntungan yang mereka ciptakan dari permainan ini. Sementara investor lain (atau lebih tepatnya spekulan) hanya bisa melongo melihat harga saham yang mereka beli terus saja turun. 
Melihat aktivitas broker yang ditengarai digunakan oleh bandar ini saat ini sangat mudah. Ketersediaan Software Online Trading yang biasanya menyediakan data tentang broker pembeli dan penjual saham memang dapat membantu kita untuk melihat Broker mana yang membeli dan broker mana yang menjual.

Lalu, apakah kita juga harus ikut dalam permainan para bandar ini? Dalam artian, kita ikut beli saham saat mereka mulai akumulasi, lalu jual saat mereka menunjukkan tanda-tanda akan distribusi?

Ada beberapa pertimbangan untuk ini.

Pertama, kita bukanlah mereka. Kita bukanlah orang yang punya akses ke dana yang besar dan informasi orang dalam (kalau ada, maka betapa beruntungnya saya karena artikel ini dibaca oleh seorang market maker). Kita berbeda dunia. Kita tidak tahu kapan mereka melakukan X dan kapan melakukan Y. Segala sesuatu hanya disimpan di kalangan mereka sendiri.

Kedua, menurut Peter Lynch, justru para investor retail lebih punya kemampuan untuk menghasilkan kinerja lebih baik dari pada para profesional fund manager yang menangani dana besar. Ini karena kita bisa keluar masuk pasar lebih bebas, karena dana yang kita pegang lebih sedikit. Kalau dana kita besar, transaksi kita mampu mengubah pergerakan harga yang akhirnya malah tambah melambung tinggi atau jatuh terperosok. Peter Lynch mengungkapkan bahwa yang perlu dipegang para investor hanyalah sikap konservatif dan tidak mudah percaya rumor. Pilihlah perusahaan yang stabil dan bertumbuh kinerjanya lalu abaikan rumor.

Ketiga, "Bandarmology" adalah satu dari banyak 'ilmu-ilmu baru' yang datang dan pergi di pasar saham. Padahal, dunia yang satu ini tidak mengenal hal-hal baru. Apa yang terjadi di saat ini, sudah pernah terjadi di masa lalu dan akan terjadi lagi di masa depan.

Namun, bandarmology jelas masih saja memikat. Tidak ada larangan untuk mengikutinya. Hanya saja, semakin kita terlarut dalam permainan, semakin kita perlu mengeluarkan energi ekstra baik untuk membaca keadaaan maupun untuk menahan emosi. Bagaimanapun, aktivitas bandar sudah menciptakan dinamisme pasar modal yang seru dan menegangkan layaknya roller coaster.

No comments:

Post a Comment