Tuesday, September 1, 2015

BEI, Sudah Benar-benar Indonesia?






Selain kita merayakan HUT RI ke 70 pada 17 Agustus lalu, bursa kesayangan kita juga merayakan ultah-nya yang ke 38, tepatnya tanggal 10 Agustus kemarin. Walau sejatinya di negeri ini sudah ada bursa efek sejak tahun 1912, namun bursa efek yang mampu bertahan dan berkembang secara kontinu hingga sekarang baru ada pada tahun 1977, yaitu saat berdirinya Bursa Efek Jakarta, yang kemudian merger dengan Bursa Efek Surabaya menjadi Bursa Efek Indonesia. Lalu, apakah Bursa ini sudah bisa disebut mewakili masyarakat Indonesia?


Sepertinya belum. Minimal jika kita lihat dari kepemilikan saham di bursa. Asing masih menguasai sekitar 60% kapitalisasi pasar. Untuk investor domestik pun, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dengan Jakarta sebagai pusatnya. Sementara di kalangan konglomerat lokal, masih banyak yang memilih untuk menaruh dananya di luar negeri. Investor retail domestik umumnya juga mengeluhkan tentang ketidakberdayaan mereka ketika menghadapi tingkah laku investor asing yang sering menggoyang IHSG. Investor lokal masih belum cukup mumpuni untuk menstabilkan indeks karena dana dan jumlah mereka yang masih kalah banyak. Perkara macam ini terjadi karena awareness masyarakat terhadap investasi saham dan efek-efek lainnya yang masih rendah. Terutama untuk yang di luar Jakarta, masih banyak yang menganggap investasi saham sebagai sesuatu yang mahal dan eksklusif untuk orang-orang berdasi saja. Belum lagi dengan kata "main saham" (saya juga benci istilah ini) yang mirip dengan makna "main judi". Kalau kita buka data di situs BEI, juga tampak jelas penetrasi akses ke pasar modal masih sangat timpang pada kota-kota di luar Jakarta. Makin ke timur negeri ini, makin susah menemukan kantor perwakilan sekuritas.

Padahal, banyak emiten-emiten di BEI mempunyai basis operasi di daerah. Sebut saja emiten tambang dan semen. Setiap hari penulis dapat dengan mudahnya melihat kendaraan operasional UNTR, KKGI, TOBA saat akan pergi dari rumah ke pusat kota. Tentu sayang sekali kalau warga di sekitar tempat operasi perusahaan tersebut hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Kekayaan hasil buminya diangkut keluar, tapi mereka tidak mendapatkan keuntungan dari operasional perusahaan tersebut. Padahal, ada kesempatan untuk ikut menikmatinya melalui bursa efek.

Selain perkara bagi hasil, hal lain yang bisa dianggap keunggulan, misalnya penulis yang rumahnya dekat dengan tempat perusahaan-perusahaan tadi. Penulis bisa melihat langsung operasional perusahaan. Alhasil, jika ada suatu isu tertentu yang terjadi pada sektor tersebut, penulis bisa menyaksikannya sendiri, tidak hanya bermodal berita dan laporan keuangan. Misalnya, ketika harga batubara jatuh beberapa tahun ini, penulis bisa mengamati sendiri efeknya. Banyak karwayan perusahaan tambang kelas menengah ke bawah yang harus dirumahkan, bahkan perusahaannya ditutup. Dan, karena ekonomi di kota penulis memang ditopang oleh industri batubara, efeknya juga menjalar ke sektor lain, terutama properti. Proyek perumahan banyak dihentikan karena over supply, banyak kontrakan yang kosong karena tidak ada karyawan-karyawan tambang yang biasanya menyewa. Hal-hal semacam ini tentu tidak bisa diamati kalau kita tinggal di Jakarta, dan harusnya menjadi nilai tambah tersendiri bagi investor yang tinggal di daerah tersebut, karena kita mengetahui operasional perusahaan tersebut langsung dengan mata kepala sendiri.
Memang salah satu kendala untuk menumbuhkan kesadaran berinvestasi adalah susahnya akses ke kantor lembaga-lembaga investasi. Sampai saat ini hanya ada 1 perusahaan sekuritas yang membuka cabang di kota penulis. Jika ingin punya pilihan yang lebih leluasa, harus jalan ke kota tetangga yang jarak tempuhnya sekitar 3 jam. Pihak BEI sendiri sudah menyadari tentang kendala ini. Oleh karena itu di beberapa kota didirikan Kantor Perwakilan (KP) BEI. Tujuan didirikannya KP tentu saja untuk meningkatkan penetrasi pasar modal di daerah tempat KP itu berdiri. Sayangnya, lagi-lagi tidak ada KP BEI di kota penulis. Sehingga, satu-satunya jalan yang efektif untuk dapat mengakses informasi tentang pasar saham hanya via internet. Tidak ada kantor sekuritas, tidak ada komunitas trader/investor, buku yang membahas investasi saham di toko buku juga nyaris tidak ada.

Untungnya, ada banyak investor senior yang berbaik hati untuk share ilmu dan pengalaman melalui forum dan blog mereka masing-masing. Informasi yang disediakan cukup mendalam dan up-to-date. Keberadaan mereka-lah yang dapat menjadi sumber utama pembelajaran tentang investasi saham. Beberapa investor-merangkap-blogger ini bahkan juga membeberkan informasi tentang sebagian dari portofolio yang mereka pegang, meski tidak semua begitu.
Nah, karena sumber belajar sudah bukan masalah, maka langkah yang semestinya di ambil pemerintah dan otoritas bursa sebenarnya cukup jelas, yaitu mempromosikan pasar modal itu sendiri. Daerah yang jadi sasaran seharusnya adalah daerah yang selama ini selalu jadi prioritas terakhir dalam urusan coverage baik pemerintah maupun swasta, sebut saja Papua. You know what? Walau se-daratan Papua hanya ada 1 KP BEI yaitu di Jayapura, pertumbuhan jumlah investor di daerah itu pada tahun 2014 naik 100% dari tahun sebelumnya. Artinya, masyarakat sebenarnya sudah punya ketertarikan untuk berinvestasi. Apalagi di beberapa stasiun tv juga ditampilkan ticker-ticker saham tiap kali ada acara berita tentang ekonomi setiap hari.

Meskipun umumnya pihak sekuritas sudah menyediakan fasilitas pendaftaran nasabah via pos
(which is very useful!), namun kehadiran lembaga investasi di daerah tetap memegang peran vital. Minimal, kita tahu siapa yang harus kita tuju ketika kita memiliki hambatan dalam berinvestasi. Ada pihak yang bisa ditemui secara tatap muka tentu lebih baik daripada via telpon. Lagipula, perwakilan lembaga investasi biasanya suka mengadakan seminar-seminar untuk menjaring investor baru di kota tempat lembaga itu membuka cabang. Bahkan pada perkembangan selanjutnya juga tumbuh komunitas-komunitas investor ketika jumlah mereka sudah cukup banyak.

Harapan kita, kedepannya BEI bisa semakin membumi di kalangan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Ketika awareness masyarakat sudah membaik maka jumlah investor domestik di bursa dapat meningkat.
Ketika investor domestik makin powerful, maka likuiditas dan stabilitas IHSG dapat ditingkatkan. Tentu saja, investor-investor baru ini harus diedukasi bahwa yang mereka lakukan adalah 'investasi saham', bukan 'main saham'.

No comments:

Post a Comment