Thursday, July 16, 2015

Special Report: Aktivitas Ekonomi di Sisi Timur Indonesia

Dear investor,

Sudah agak lama saya tidak update blog ini sejak awal Juli kemarin. Bukannya saya mulai malas nulis. Tapi karena kali ini saya sedang melakukan perjalanan ke kota Sorong untuk menemui ayah saya. Nah, sepanjang perjalanan menuju Sorong, karena naik kapal PELNI, jadi saya bisa transit di Makassar dan Ambon, beda kalo naik pesawat, kita ga bisa jalan-jalan. Btw, karena situasi pasar saham juga belum menarik, artikel kali ini ga terlalu berkaitan dengan saham, namun lebih ke ekonomi secara umum di sisi timur Indonesia, dari sudut pandang seorang traveller. Hehe..

Karena perjalanan via laut, maka yang tampak di mata juga adalah aktivitas ekonomi yang berhubungan dengan laut. Kota pertama yang kami singgahi adalah Makassar. Pintu gerbang Indonesia Timur ini sudah dari dulu udah ramai dengan aktivitas perdagangannya. Siapa lagi biang keroknya kalau bukan oleh para pelaut Bugis yang legendaris itu. Dengan pinisinya mereka sudah melanglangbuana dari Australia hingga Afrika Selatan untuk kepentingan dagang. Kini Pelabuhan Soekarno-Hatta (bukan bandara Soekarno-Hatta lho ya...) menjadi salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia, karena di pelabuhan inilah kapal dan muatan kargo dari Jawa dan luar negeri diteruskan ke pelabuhan-pelabuhan lain yang lebih kecil di sebelah timur.


Nah, untungnya kami berlabuh di kota saat siang. Kami turun di dermaga menggunakan garbarata, itu lho yang biasa dipake buat naik-turun penumpang pesawat, sekarang udah dipasang di pelabuhan juga. Tampak gedung terminal penumpang yang masih belum selesai 100%. KM Gunung Dempo yang kami naiki tampak sibuk dengan aktivitas bongkar muat kargo. Porter-porter keluyuran menawarkan jasa angkut bagi para penumpang. Ada juga ABK yang melempar sampah konsumsi penumpang ke atas truk, juga selang yang kayaknya buat nyedot kotoran tinja dari WC kapal. Trus suara teriakan petugas yang sibuk mengatur penumpang dan porter yang bandel. Pokoknya saat itu dermaga sangat sibuk!

Harga-harga barang di Makassar tidak berbeda dengan di Jawa, karena memang ia adalah kota hub untuk distribusi logistik juga. Bongkar muat disini terbilang sangat ramai. Satu hal yang saya kagumi dari kota ini adalah banyaknya grup konglomerat yang bangga dengan daerah asal mereka. Kalau kita bicara ekonomi Makassar, kita pasti juga akan membahas tentang Grup Bosowa, Kalla, Fajar, La Tunrung, dll. Grup-grup ini tetap bercokol di kota mereka sendiri, meski juga berkantor di Jakarta. Beda dengan pengusaha-pengusaha lain yang 'harus hijrah' ke Jakarta dulu untuk bisa besar.

batu akik everywhere
Lepas dari Makassar, kapal berlayar menuju Ambon. Sayangnya kapal bersandar di pelabuhan kota ini pada malam hari. Alhasil kami tidak berani berjalan keluar pelabuhan, cukup di dermaga saja. Jika di Makassar masih tampak aktivitas bongkar dan muat kargo, di sini (dan seterusnya hingga kapal tiba di Jayapura) hanya aktivitas bongkar kargo saja yang menonjol. Tapi, pasca perairan Ambon inilah kami mulai merasakan situasi yang 'benar-benar timur'. Ada penumpang yang berdagang kasbi (singkong), sagu, juga papeda. Selain itu juga bagi Anda yang gemar ikan, maka disinilah puncak kesenangan Anda. Bayangkan, kami dengan uang 25.000 rupiah bisa mendapatkan separuh badan ikan cakalang asap. Mana ada cerita bisa dapat segitu di Jogja! Demam batu Akik juga menggema dahsyat disini. Entah kapan Economic Bubble macam gini pecah, tapi yang jelas akan anjlok juga. No need to be genius to understand it.

Perairan timur memang sangat kaya sama namanya hasil laut. Gak heran kalo Bu Menteri kita Susi Pudjiastuti menaruh concern pada kawasan ini. Kasus PT Pusaka Benjina Resources harusnya sudah cukup menyadarkan kita tentang harta karun di wilayah ini yang, karena pola pembangunan dan pemberitaan yang Jawa sentris, malah abai dari perhatian publik dan dicuri secara terbuka oleh kapal-kapal asing. Ayo bu, ledakin lagi kapalnya..

Begitu sampai sorong. Langsung menuju tempat keluarga. Beberapa hari kemudian baru bisa jalan-jalan ke pasar sentral. Di sini kita bisa nemuin ikan dan hasil laut lain yang harganya sangat murah untuk ukurannya yang besar-besar. Oh iya, takaran penjualan di sini gak pake timbangan. Jadi kalo ga di hitung per ekor untuk ukuran ikan besar, ya pake per paket yang ditentukan para pedagang sendiri. Tenang aja, antar pedagang ukuran paketnya sama kok. Karena ikan yang melimpah ini juga mungkin yang bisa menjelaskan kenapa orang-orang timur fisiknya kuat-kuat. Makanannya protein semua gitu. Selain ikan, terkadang juga bisa kita temui penjual ulat sagu, baik yang masih hidup maupun yang sudah diasap. Ulat sagu asap dijual dalam bentuk disusun bertumpuk dan ditusuk 3 gagang bambu. Rasanya enak, gurih mirip santan.

Untuk pembangunan di sorong sendiri, sebenarnya cukup gencar. Kalau rekan saya bilang, situasinya mirip kota Tangerang. Jalan berdebu, banyak proyek terutama perumahan dan jalan, serta panas. Jika pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia adalah Makassar, maka pintu gerbang Papua adalah Sorong. Apalagi kalau mau ke Raja Ampat, biasanya kota Sorong jadi Base Point para wisatawan.

Fasilitas publik di Sorong terbilang paling lengkap untuk ukuran sebuah kota di Papua. Di sini ada pelabuhan, Bandara (Garuda Indonesia udah mendarat di sini juga) yang kini sedang dalam tahap pembangunan gedung terminal penumpang yang lebih representatif. ATM yang cukup banyak ditemui tentu saja ATM BRI. Namun yang sangat disesalkan adalah banyak ATM BRI yang tidak bisa dioperasikan alias rusak. Untuk pilihan yang lebih aman dari status 'rusak' ya Mandiri atau BNI.

Ada satu isu yang sebenarnya udah jadi masalah klasik untuk pembangunan di Papua: Tanah Ulayat. Sistem Tanah Ulayat ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi ia ada untuk melindungi hak-hak warga lokal terhadap lingkungannya. Di sisi lain sistem ini seringkali dimanfaatkan masyarakat untuk mendapatkan harga tanah setinggi-tingginya dari suatu proyek pembangunan. Yang jadi masalah tentu saja jika proyek itu menyangkut kepentingan banyak orang, sebut saja pembangunan jalan. Saya pernah membaca suatu tulisan yang berisi tentang keluhan dalam menangani kejadian macam gini. Ceritanya suatu pemborong hendak mengerjakan proyek jalan, dimulai dari pembebasan lahan. Warga setempat menuntut tarif pembebasan yang tingginya minta ampun. Setelah ada kesepakatan, blokade dibuka. Tapi ternyata hanya untuk beberapa kilometer saja. Dari situ sudah ada lagi blokade baru, lalu diadakan kesepakatan baru, blokade dibuka, lalu beberapa kilometer kemudian diblokade lagi, dan seterusnya.

Ayah saya dan tetangga-tetangganya banyak juga bercerita hal semacam ini, dan ini adalah kejadian yang umum. Yang lebih ekstrim lagi saat ternyata lahan yang mau dibebaskan sudah tumbuh pohon. Selain ganti rugi tanah, juga ditarik ganti rugi untuk tiap pohon yang ditebang. Hal ini pernah terjadi pada ruas jalan Manokwari-Sorong. Alhasil, sudah perhatian dari pusat saja kurang, dari daerah sendiri juga menghambat pembangunannya. Warga Papua mengeluhkan pembangunan kurang, pejabat dari Pusat mengeluhkan susahnya memulai pembangunan di situ. Jadi kayak lingkaran setan kan?

Kasus-kasus semacam ini hendaknya mulai di cari pemecahannya oleh Pemerintah. Papua tidak bisa dibiarkan terlantar terus. Papua harus maju dan tetap hijau, jangan jadi kayak Jakarta juga. Yang penting kebutuhan-kebutuhan primer di Papua bisa diakses dengan mudah, itu saja cukup.

Btw, ekonomi (termasuk pasar saham) kan lagi kurang bergairah nih. Ada dampaknya sampai ke Sorong ga sih? Ada. Sorong juga menyandang status sebagai kota minyak. Nah, salah satu perusahaan minyak yang bercokol di kota ini, yaitu PetroChina, memutuskan untuk berhenti berproduksi sementara. Efek berantainya cukup panjang; kapal-kapal pengangkut minyak ikut berhenti operasi. Termasuk usaha besi tua milik ayah juga turun drastis. Perlambatan ekonomi China memang berefek besar ke Indonesia.

Untuk beberapa hari ke depan mungkin saya masih jarang-jarang update artikel, setidaknya setelah sampai di Samarinda nanti, karena faktor jaringan internet. Jadi harap bersabar dulu ya. 

p.s: Foto menyusul

No comments:

Post a Comment