Saturday, August 6, 2016

Setahun Berinvestasi Saham

Bulan ini setahun yang lalu saya mulai masuk di dunia pasar saham Indonesia menggunakan rekening atas nama saya sendiri (sebelumnya sudah masuk sejak bulan Mei 2015 menggunakan ID rekan saya).

Setahun masihlah terlalu dini untuk bisa disebut berilmu. Namun setahun juga bukannya saya tidak membuat kesimpulan sama sekali, meski hanya kesimpulan sementara. Dalam setahun ini sudah banyak kejadian-kejadian yang saya alami, yang sedikit banyak mempengaruhi psikologis saya dalam berinvestasi.
Saya mengalami keadaan yang benar-benar "menodong" saya untuk membelanjakan tabungan saham saya, dan memaksa menyerah terhadap keadaan. Meski masa terberat itu sudah terlewati, namun bukannya saya saat ini dalam keadaan bisa bernafas lega.

Hal-hal berat yang telah saya alami ini bukannya tidak ingin saya ceritakan, namun alangkah indahnya kalau saya ceritakan nanti ketika keadaan saya sudah sedikit diatas angin. Masih banyak hal yang harus diperjuangkan untuk memperkuat diri sebelum akhirnya jadi cerita indah.

Setidaknya.... inilah beberapa kesimpulan yang saya dapatkan di pasar modal, selama setahun terakhir:

  1. Saat tepat untuk berinvestasi adalah SEKARANG. Bukan besok, bukan "harusnya kemaren-kemaren", bukan menunggu harga menyentuh level support. Anda bisa menunda investasi di suatu saham, namun mohon pertimbangkan bahwa gara-gara menunda itu, anda mungkin melewatkan Dividen, kesempatan ikut RUPS, dll

    Kalau saya menunda investasi sampai harga menyentuh level support, mungkin saya akan dapat harga termurah, tapi ketika ikemudian hari saya kembali dapat dana segar untuk belanja saham, harga sudah mantul alias naik. Begitu mau beli lagi saham tersebut, hati rasanya sudah berat. Kenapa? Kalau kita beli lagi di harga yang sudah naik, tindakan itu akan mendilusi prosentase keuntungan.

    Bagi orang lain mungkin dilusi dari segi prosentase keuntungan tidak masalah (karena nominal keuntungan masih sama). Namun bagi saya agak berat, Karena saya membuat Screenshot portofolio yang saya anggap sebagai laporan pertanggungjawaban pada pembaca blog saya dan saya sendiri. Prosentase keuntungan yang sudah muncul di screenshot tersebut akan terdilusi.

    Jadi kalau menurut saya harga suatu saham sudah murah namun kedepannya masih akan turun, saya akan tetap membelinya sekarang. Nanti di kemudian hari saya akan membeli lagi kalau punya dana di harga bawah. Dengan begitu prosentase kerugian saya lah yang akan terdilusi.
  2. Tidak melakukan diversifikasi adalah tindakan bodoh, Namun diversifikasi terlalu luas pertanda tidak percaya diri.

    Diversifikasi dilakukan dengan harapan mampu meredam resiko kerugian akibat penurunan harga suatu emiten. Tapi kalau jumlah emiten atau bahkan jumlah instrumen investasi (misal selain investasi saham juga punya properti, reksadana dan deposito) terlalu banyak, hal itu juga meredam potensi keuntungan dari satu emiten/instrumen investasi yang mengalami lonjakan kinerja.

    Sebenarnya, melakukan penelitian secara seksama melalui Analisis Fundamental pada laporan keuangan suatu emiten saja sudah mampu meredam resiko investasi secara signifikan. Tapi ingat, Analisisnya harus seksama ya... secermat dan seterperinci mungkin, dengan rentang data 5-10 tahun kebelakang.

    Kalau memang sudah yakin dengan emiten yang kita pilih, ngapain diversifikasi terlalu luas?
  3. Emiten yang bagi dividen dengan jumlah wajar harganya lebih cepat naik (dan turun) dari emiten yang tak pernah bagi-bagi dividen, meski Fundamental keduanya sama-sama bagus.

    Kenapa? Karena emiten yang memberi dividen secara wajar umumnya lebih likuid sahamnya. Serta, lebih cepat pulih harganya ketika selesai masa-masa bullish ketimbang emiten yang pelit bagi dividen.

    Dividen juga bisa dianggap bentuk kepercayaan diri manajemen bahwa mereka sanggup menyelesaikan kewajiban-kewajiban perusahaan, alias arus kas nya lancar.

    Perhatikan BTPN. Fundamentalnya oke punya. Namun harga sahamnya sampai saat ini masih susah untuk naik, karena semenjak IPO 2008, perusahaan ini belum pernah bagi dividen. Contoh lainnya ada PNIN. Saya yakin pada akhirnya dua emiten ini akan naik mencapai harga wajarnya masing-masing, namun prosesnya lebih pelan dari emiten yang rutin bagi dividen.
  4. Tidak ada alasan "Gaji pas-pasan, tidak cukup untuk Investasi".

    Kalau saya sudah menetapkan berapa prosentase yang wajar dari pendapatan yang ditabung untuk investasi, dan disiplin keras untuk melaksanakannya, maka saya selalu bisa menabung untuk investasi, berapapun gaji saya.
    Dalam hal ini, saya menetapkan 10% adalah angka minimum untuk gaji yang ditabung.
  5. Belajar mengabaikan.

    Informasi dapat diakses dengan mudah. Tiap menit ada postingan baru tentang suatu emiten, entah dari sesama investor maupun dari media. Sayangnya sebagian besar informasi tersebut tidak berguna. Sumber informasi terbaik tetap yang diumumkan resmi di bursa. Grafik harga harian adalah gambaran kegilaan orang. Ngapain kita ikut-ikut?
  6. Kesimpulan saya bisa saja salah.

    Ya. Kesimpulan saya adalah bahwa 5 kesimpulan di atas bisa saja salah. Lagi-lagi, 1 tahun, bahkan 5 tahun pun  masih terlalu pendek untuk mengambil kesimpulan yang tepat tentang "Cara jadi Investor Sukses" yang layak dijual di seminar-seminar itu.

    Alasan mengapa Warren Buffett jadi investor besar adalah karena ia terbuka terhadap ide baru yang bahkan bisa sangat kontradiktif dengan prinsip dia sebelumnya. Ia terkenal anti terhadap perusahaan-perusahaan teknologi. Namun belakangan ia membeli saham IBM. Ia anti terhadap perusahaan-perusahaan komoditas, namun belakangan Berkshire Hathaway-nya malah punya holding sendiri untuk perusahaan-perusahaan tambang bahan bakar yang ia akuisisi. So Sometimes We Have to Break Our Own Rules.

4 comments:

  1. Sometimes We Have to Break Our Own Rules. Dalam dunia saham kita harus jadi pragmatis, namun kita harus punya prinsip dasar terutama self control dan money management. Maju terus & sukses selalu.

    ReplyDelete