Sunday, August 14, 2016

EBITDA

Buat anda-anda yang suka membaca laporan keuangan, atau minimal suka baca-baca artikel tentang Analisis Fundamental, pasti pernah dengar yang namanya EBITDA.

EBITDA biasa disejajarkan dengan rasio-rasio lain seperti PER, PBV, ROE dll. Hanya saja memang sedikit kurang populer dari rasio-rasio tersebut diatas. Meski begitu, saat ini mulai banyak orang-orang di Indonesia yang pakai EBITDA dalam perhitungan mereka untuk kalkulasi murah-mahalnya suatu saham.


Memangnya apa sih EBITDA itu?

Well, EBITDA adalah:

E earnings
B before
I interest,
T taxes,
D depreciation and
A amortization


Jadi, Terjemahan kasar dari EBITDA adalah "Pendapatan sebelum dikenakan Bunga, Pajak, Depresiasi dan Amortisasi"

Depresiasi adalah Penyusutan nilai suatu barang modal, misalnya mesin produksi, karena umur dan pemakaian alat tersebut. Sedangkan Amortisasi adalah mirip dengan Depresiasi, hanya saja yang menyusut bukan barang, namun aset tak berwujud. Aset tak berwujud bisa berupa lisensi, merek dagang, hak cipta, dll.

Apa tujuan analisis EBITDA?

EBITDA muncul dari argumen bahwa laba bersih perusahaan belum tentnu mencerminkan kinerja perusahaan yang sesungguhnya. Mengapa? Karena laba yang diperoleh perusahaan itu harus dipotong pajak, dikurangi bunga pinjaman dari hutang, serta dikurangi biaya penyusutan.

Nah, beberapa orang berargumen bahwa variabel-variabel di atas, meskipun menghasilkan laba bersih yang jelas-jelas riil, namun justru menjadi kabut penghalang saat mengamati kinerja perusahaan karena keuntungan perusahaan dikurangi oleh variabel-variabel tersebut (pajak, bunga hutang dan penyusutan).

Ini karena, sesuai prinsip Ilmu Akuntansi yaitu perhitungan harus didasarkan pada sikap  'pesimis'. Artinya
 apabila kita dihadapkan untuk memilih di antar dua atau lebih prinsip/teknik akuntansi yang sama – sama diterima, diutamakan pilihan yang memberikan pengaruh keuntungan yang PALING KECIL pada ekuitas pemilik (yaitu para pemegang saham).

Nah, EBITDA berupaya menghilangkan prinsip itu, dengan harapan angka yang muncul adalah angka 'realistis'.

EBITDA menghilangkan variabel-variabel diatas untuk menghilangkan sikap 'pesimis' tadi. Terutama lagi, untuk Penyusutan (Depresiasi dan Amortisasi), yang memang secara faktual susah ditentukan keakuratannya.

Bermanfaatkah EBITDA?


  1. Penyusutan Yang Diabaikan

    Misal, Anda punya HP yang waktu beli baru, harganya 1 juta. Anda sudah pakai selama 6 bulan, dengan kondisi layar bagian kanan bawah agak retak gara-gara anda lempar buat nolongin tetangga yang cantik ngambil buah mangga kesukaannya. Meski layar retak namun masih bisa dioperasikan
    secara normal
    Berapa harga HP tersebut sekarang? Susah menentukan secara pasti. Anda bisa sebut harganya tinggal 800 ribu. Tapi, itu kan Anda. Bagaimana dengan orang lain? bisa saja mereka berpendapat harganya tinggal Rp 750 ribu. Belum lagi kalau kelengkapannya sudah berkurang atau gak ori lagi, pasti orang lain akan menawar di harga jauh lebih rendah, padahal
    barang masih bekerja secara normal (dalam dunia usaha, mesin masih berproduksi dan 'mencetak uang' seperti biasa, hanya bodi yang cacat) Tidak ada metode pasti untuk perhitungan penyusutan ini.  
    Karena susah menentukan nilai pasti penyusutan, EBITDA mengabaikan variabel tersebut. Jadi secara kasarnya, dengan EBITDA anda menanggap harga HP anda tersebut masih
    Rp 1 Juta, dengan alasan HP masih bisa beroperasi dengan normal.  Apakah orang mau beli HP anda yang layarnya agak retak dan sudah dipakai 6 bulan di harga segitu? saya yakin tidak.

    Meskipun berbeda pendapat tentang harga pasti HP tersebut sekarang, Anda dan orang lain sama-sama sepakat bahwa harga HP anda dibawah satu juta. Jadi lebih akurat mana, Prinsip 'pesimisme' Akuntansi atau EBITDA?

    Memang ada, dan sering, momen ketika "Penyusutan" itu malah tidak ada pada aset tertentu. Misalnya saja aset berupa properti. Harga properti dari tahun ke tahun realitanya selalu naik, namun di laporan keuangan justru ditulis terjadi penyusutan (karena sikap 'pesimis' ala Ilmu Akuntansi tadi). Kalau ini terjadi apakah EBITDA (harga properti tetap) bisa dibenarkan? monggo didiskusikan :D
  2. Pajak yang diabaikan

    Yang ini agak fatal. Pajak yang nilainya jelas-jelas disetor ke negara malah dianggap tidak ada.

    Pajak adalah sesuatu yang riil. Sesuatu yang sudah pasti kita tanggung (kecuali anda pengemplang pajak). Jadi pajak adalah beban yang nyata.

    Anda mau beli perusahaan perkebunan jengkol milik teman anda. Dia bilang aset bersihnya 1 milyar, dengan EBITDA 400 juta pertahun. Terlihat menggiurkan.
    Setelah anda beli 100% saham perusahaan teman anda tersebut, anda baru tahu kalau perusahaan sudah nunggak pajak 10 tahun dan total tagihan pajaknya 500 juta. Anda pun galau, karena menggunakan EBITDA, bukan laba bersih sebagai perhitungan.
  3. Kembali ke perusahaan jengkol teman anda tadi. bayangkan bahwa ia tahun lalu meminjam uang ke bank sebesar 200 juta tenor 2 tahun untuk ekspansi pabrik untuk ekspor ke British Virgin Island. Bunganya 10%.

    Karena perusahaannya berpindah ke tangan anda, anda pula yang harus menangani pembayaran hutangnya. anda putuskan untuk membayar hutang 100 juta pertahun.

    Menurut perhitungan EBITDA, anda cukup bayar 100 pertahun juta ke bank. benarkah demikian? baik secara hitungan teoretis maupun prakteknya, anda tetap harus bayar 100 juta + bunga (10%x200 juta)/2 = 110 juta untuk tiap tahun, alias totalnya 220 juta. Mana yang lebih akurat?
Dari ilustrasi di atas, maka nampak jelas. EBITDA, alih-alih menunjukkan angka realistis, malah menghasilkan angka Optimis. Seringkali angka optimis tersebut sangat dilebih-lebihkan.

Karena itu, EBITDA biasanya digunakan untuk 'mempercantik' suatu laporan keuangan agar terlihat bagus. Tentu saja, 'mempercantik' laporan keuangan ini juga tanda tanya bagi perusahaan yang ingin tampil transparan dan akuntabel.

Well, mungkin saya terlalu jauh mengabaikan fungsi EBITDA. Itu semua lebih karena prinsip konsep konservatif dalam berinvestasi. Mungkin (saya juga tidak tahu) EBITDA justru cocok untuk perencanaan bisnis kedepannya (dari sisi manajemen, bukan owner/pemegang saham) karena dapat digunakan sebagai estimasi arus kas. Entahlah.

Saya sendiri tidak pernah menggunakan EBITDA dalam analisis laporan keuangan. How About You?

No comments:

Post a Comment