Sunday, January 24, 2016

BUMI, what's wrong with you?




Bismillahirohmanirohim..

Harga batubara dunia terus meluncur kayak perosotan
Setelah lama sekali saya tidak aktif di blog ini, lantaran banyaknya urusan dan hal-hal baru yang harus saya hadapi di penghujung tahun 2015 kemarin, akhirnya kali ini saya kembali berkesempatan untuk melanjutkan menulis.

Setelah menimang-nimang, berpikir dan merenung serta ngelamun, saya putuskan untuk membahas tentang salah satu perusahaan paling fenomenal di BEI, PT. Bumi Resources, Tbk yang tickernya hampir semua orang tau: BUMI, yang dibekingi grup paling fenomenal juga di BEI, yaitu Bakrie Group.

Seperti yang sudah saya bahas di postingan yang ini, Sektor batubara (dan sektor energi, bahkan komoditas pada umumnya) memang mengalami tekanan yang luar biasa dalam 3 tahun terakhir. Harga yang terus-terusan anjlok membuat sektor ini menjadi sekilas tidak menarik sama sekali. Di Januari 2016 ini harga minyak dan batubara menyentuh level terendah dalam lima tahun terakhir.



Tak ayal banyak perusahaan tambang yang terpaksa mengencangkan sabuk bahkan banyak yang gulung tikar. Setidaknya itu yang saya lihat di kota tempat tinggal resmi saya, Samarinda. Kota yang tambang batubaranya bejibun ini tampak kacau balau, selain karena kerusakan yang diakibatkan maraknya tambang, juga karena justru perusahaan-perusahaan tambang itu banyak yang tutup.

Nah, bicara batubara di bursa, tentu bicara juga BUMI. Perusahaan yang pernah meraih gelar "Emiten sejuta umat" ini mendadak berbalik dicaci-maki oleh para investor retailnya. Krisis ekonomi tahun 2008 berhasil membuka borok perusahaan yang dulunya dielu-elukan sebagai perusahaan dengan kapitalisasi pasar tertinggi di bursa (165.9 Trilyun). Sebelum krisis, seberapa banyak orang yang mau meneliti laporan keuangan BUMI untuk menentukan valuasi riilnya? Setelah saham anjlok lah, baru orang panik mencari-cari penyebab longsornya saham tercinta mereka ini. Dan dari situlah tangis meledak, saat semua menyadari bahwa sudah sejak dulu Laporan Keuangan BUMI tidak menyajikan apapun selain setumpuk hutang-hutang dan berbagai macam financial engineering super rumit.

Hebatnya Group Bakrie dalam mempermainkan pasar memang sudah tidak diragukan lagi. Gimana tidak. bukan hanya investor ritel yang banyak jadi korban keganasan pergerakan saham anggota grup mereka. Sederetan Institusi besar dan perorangan bermodal gede udah mental dihajar group yang satu ini. Sebut saja Brentwood Ventures, Samin Tan hingga pentolan kapitalis asal Inggris, Nat Roschild juga bonyok dikerjain Bakrie.



Tapi, justru itu keanehan (atau keunikan?) nya. Meskipun BUMI dalam laporan keuangannya menanggung utang yang ajigile besar, mereka selalu lolos dari tuntutan kebangkrutan yang diajukan para krediturnya. Sebut saja Nat Rotschild yang begitu percaya dirinya yakin akan menang telak melawan Bakrie di pengadilan di London Inggris, malah dibuat terkaget-kaget oleh manuver Bakrie, sehingga entah gimana caranya, mereka lolos dari tuntutan hukum tersebut. peristiwa ini terjadi di awal tahun 2013.

Dan di dalam negeri sendiri, hampir tidak pernah kita membaca berita bahwa Kaltim Prima Coal (Anak perusahaan BUMI yang paling besar) punya masalah dengan pembayaran gaji pada karyawan. Coba aja googling, saya yakin Anda akan kesusahan menemukan berita bahwa karyawan KPC lagi ada demo nuntut gaji. Everything is okay! Padahal utangnya ada 4 Milyar US Dollar. (Ingat, bukan rupiah, tapi US Dollar!)

Nah dari sinilah, kita juga patut bertanya-tanya. Mengapa operasional BUMI bisa baik-baik saja?

Teori yang mungkin bisa menjelaskan fenomena BUMI ini mungkin adalah bahwa asset BUMI yang sesungguhnya jauh lebih besar dari yang tercatat di laporan keuangan. Sudah jadi pengetahuan umum di kalangan pegiat pertambangan Indonesia, bahwa Kaltim Prima Coal memiliki areal pertambangan terbesar di Indonesia. Kualitas batubara yang ditambang juga kualitas tinggi (berkalor tinggi), sehingga nilai jualnya lebih baik dari hasil tambang dari perusahaan lain.

Kemungkinan nilai riil yang tersembunyi inilah yang tertutup dari pandangan publik investor ritel. Karena, situasi di kalangan investor kelas kakap justru berkebalikan. Jika di kalangan ritel orang-orang sedang mencaci-maki perusahaan ini, maka di kalangan investor besar, lokal maupun asing, termasuk kreditur, justru banyak yang bermain BUMI. Termasuk juga investor individu terkenal kita, Bapak Lo Kheng Hong.. Perhatikan petikan artikel dari finance.detik.com berikut ini:

Jakarta -Kinerja perusahaan tambang milik Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) terus mencatatkan kerugian. Saham-sahamnya pun terus rontok.

Namun, apa yang membuat investor pasar modal Lo Kheng Hong yang dikenal sebagai 'Warren Buffet'-nya Indonesia, tetap mau berinvestasi di perusahaan milik Grup Bakrie tersebut?

"Perusahaan ini masih berproduksi. Masih 80 juta ton produksinya. Cadangan batubaranya juga banyak, terbesar," kata pria asli Betawi ini saat ditemui usai batalnya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BUMI, di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (20/12/2013).

Menurut pria yang sudah 24 tahun 'bermain' di pasar modal ini investasi di pasar saham memang untuk jangka panjang sehingga tidak hanya melihat kondisi saham saat ini saja.

"Dulu harga saham BUMI Rp 8.750 per saham, sekarang kira-kira sudah Rp 300-310 per saham. Ya memang lagi begitu," ujar dia.

Yah... kunci nya mungkin memang di situ, yaitu di fakta bahwa perusahaan masih Lancar Beroperasi, Cadangan batubaranya masih banyak, bukan semata laporan keuangan yang terus merugi. Dan, ingat kembali, bahwa sampai saat ini belum ada berita atau desas desus tentang tambang KPC yang tidak mampu bayar gaji karyawan. Semuanya lancar jaya!

Oleh karena itu, setelah berbagai pertimbangan yang sangat lama, akhir Desember lalu penulis memutuskan untuk masuk berinvestasi di perusahaan ini. Oh iya, portofolio yang sebelumnya pernah saya pegang, terpaksa saya lepas lebih cepat akhir tahun lalu lantaran adanya kesulitan ekonomi yang saya alami semenjak memutuskan untuk off kuliah dan full bekerja sendiri. however, saya akan mengumpulkan kembali modal untuk kembali berinvestasi pada saham yang saya pernah pegang dulu. I am struggling hard to put the money where my mouth is.







3 comments:

  1. SO, Bagaimana dengan pendapat anda mengenai BCIC setelah diambil alih oleh Bank J-Trust?/ apakah kondisinya bisa berbalik arah

    ReplyDelete
    Replies
    1. BCIC belum sempat saya analisa. Namun melihat asetnya masih terlalu kecil, saya belum terlalu banyak berharap pada BCIC.

      Delete
  2. Bagaimana anda melihat mcor yang sdh diakuisi china bank corporation?

    ReplyDelete