Setelah kita memutuskan untuk masuk ke pasar modal, tentu kita harus menentukan guidelines alias pedoman dasar yang harus kita pegang dalam melakukan aktivitas transaksi saham. Pedoman dasar ini penting untuk mencegah kita bertindak diluar perhitungan, atau yang lebih parah lagi bertindak berdasarkan emosi sesaat, entah keserakahan atau ketakutan, atau yang lainnya. Langkah yang paling awal untuk diambil dalam hal ini adalah menentukan: apakah kita ingin menjadi investor, atau trader?
Pemisahan istilah ini cukup penting namun sering dicampuradukkan oleh banyak pihak, termasuk media. Tentu Anda pernah membaca artikel berita yang judulnya mirip-mirip begini: "Aksi Jual Investor Asing Tekan IHSG ke level xxxx", atau "Ekonomi Negara YYY bergejolak, bursa AS rawan aksi Cut Loss para Investor". Seharusnya yang lebih cocok untuk digunakan pada 2 judul berita tadi adalah Trader, bukan Investor. Saya sedikit banyak memaklumi pencampuran istilah ini, karena menurut sejarahnya bursa saham memang ditujukan untuk berinvestasi, namun kegiatan trading (dan spekulasi) adalah fenomena yang akan selalu ada di bursa manapun. Jadi siapapun yang melakukan transaksi jual-beli efek akan disebut investor terlepas gaya 'main'nya gimana. Lagipula Investasi dan Trading adalah sama-sama upaya tindakan untuk membeli saham di harga tertentu dan berharap kenaikan harga terjadi. Namun dalam rangka penentuan sikap pribadi kita masing-masing dalam bertransaksi di pasar modal, dua istilah ini sebaiknya kita pisahkan dan salah satu dari dua hal itu kita jadikan pedoman untuk seterusnya.
Investor, yaitu orang yang melakukan kegiatan investasi. Artinya kita membeli saham untuk kemudian di simpan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Dengan cara ini maka yang lebih diperhatikan oleh seorang investor adalah perusahaan yang sehat, fundamentalnya baik. Fluktuasi harga bukanlah fokus utama seorang investor. Ia yakin bahwa selama perusahaan masih berjalan dengan baik, maka mau harga sahamnya jauh sedalam apapun juga tidak akan jadi masalah karena pada akhirnya harganya akan naik kembali. Dalam hal ini, seorang investor akan lebih banyak menggunakan Analisis Fundamental.
Pemisahan istilah ini cukup penting namun sering dicampuradukkan oleh banyak pihak, termasuk media. Tentu Anda pernah membaca artikel berita yang judulnya mirip-mirip begini: "Aksi Jual Investor Asing Tekan IHSG ke level xxxx", atau "Ekonomi Negara YYY bergejolak, bursa AS rawan aksi Cut Loss para Investor". Seharusnya yang lebih cocok untuk digunakan pada 2 judul berita tadi adalah Trader, bukan Investor. Saya sedikit banyak memaklumi pencampuran istilah ini, karena menurut sejarahnya bursa saham memang ditujukan untuk berinvestasi, namun kegiatan trading (dan spekulasi) adalah fenomena yang akan selalu ada di bursa manapun. Jadi siapapun yang melakukan transaksi jual-beli efek akan disebut investor terlepas gaya 'main'nya gimana. Lagipula Investasi dan Trading adalah sama-sama upaya tindakan untuk membeli saham di harga tertentu dan berharap kenaikan harga terjadi. Namun dalam rangka penentuan sikap pribadi kita masing-masing dalam bertransaksi di pasar modal, dua istilah ini sebaiknya kita pisahkan dan salah satu dari dua hal itu kita jadikan pedoman untuk seterusnya.
Investor, yaitu orang yang melakukan kegiatan investasi. Artinya kita membeli saham untuk kemudian di simpan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Dengan cara ini maka yang lebih diperhatikan oleh seorang investor adalah perusahaan yang sehat, fundamentalnya baik. Fluktuasi harga bukanlah fokus utama seorang investor. Ia yakin bahwa selama perusahaan masih berjalan dengan baik, maka mau harga sahamnya jauh sedalam apapun juga tidak akan jadi masalah karena pada akhirnya harganya akan naik kembali. Dalam hal ini, seorang investor akan lebih banyak menggunakan Analisis Fundamental.
Sementara Trader, yang ia lakukan adalah membeli saham untuk kemudian dijual kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama, maksimal ya beberapa bulan. Yang ia beli adalah saham yang menurutnya akan naik dalam waktu dekat. Walau kesehatan perusahaan juga terkadang diperhatikan, namun seorang trader lebih berfokus pada pergerakan harga sahamnya, karena ia memang akan keluar-masuk saham relatif lebih cepat. Dalam hal ini, seorang trader akan lebih sering menggunakan Analisis Teknikal.
Banyak orang yang pertama kali masuk ke pasar modal melakukan kesalahan dalam penentuan sikap ini, jujur saya juga termasuk. Kesalahan yang saya lakukan waktu itu adalah masuk ke pasar modal dengan niat sebagai investor, tapi tindak tanduk saya waktu lebih menggambarkan diri saya sebagai seorang trader, bahkan spekulan. Waktu itu bulan April 2015 saya dengan semangatnya saya masuk membeli saham MLBI yang jumlahnya mencapai 95% total cash saya. Alasan saya membelinya waktu itu hanya karena saya suka produknya (I love beer!), saya lihat harganya sudah turun jauh dari Rp14.000an ke Rp9600 lalu mentok di situ-situ aja jadi seharusnya naik, dan kepercayaan saya bahwa jumlah anak muda yang mengenal bir akan semakin banyak seiring bonus demografi. Bayangkan, saya masuk tanpa menganalisis valuasinya sama sekali!
Beberapa minggu kemudian keluarlah peraturan menteri tentang pembatasan minuman beralkohol di pasaran. Bisa ditebak harga saham MLBI akan langsung jatuh berguguran. Saya langsung deg-degan dan cut loss di harga 8700an. Setelah cut loss, sampai saat artikel ini ditulis, MLBI berada di rentang harga 6900-7000an.
Saya tidak menyesali keputusan untuk cut loss itu, toh faktanya MLBI dan IHSG sendiri belum naik signifikan sampai sekarang. Namun yang jadi pelajaran bagi saya adalah konsistensi yang harusnya saya terapkan ketika saya sudah menetapkan diri sebagai seorang investor. Harusnya saat itu saya mempelajari laporan keuangan MLBI dan menentukan valuasi wajarnya, seperti halnya yang dilakukan para investor lain, dan menyediakan dana segar cadangan yang cukup agar bisa average down (membeli pada harga dibawah rata-rata). Harusnya saya tidak mengambil penilaian dari grafik harga, minimal tidak melakukannya sebelum memiliki pengetahuan tentang Analisis Teknikal yang memadai, karena saya tidak mempersiapkan diri untuk bertransaksi dengan gaya seorang trader.
Lalu, apakah karena dua aliran yang berbeda ini, investor dan trader menjadi saling 'bertikai' selalu? banyak pihak akan menjawab iya. Umumnya mereka sering memperdebatkan tentang metode apakah yang paling menghasilkan dalam bertransaksi saham, metode mana yang akan berhasil pada situasi pasar saat itu. Banyak analis yang juga tidak menyarankan penggunaan Analisis Fundamental dan Analisis Teknikal secara bersamaan, karena akan memunculkan kebingungan ketika rekomentasi AF berbeda dengan rekomendasi TF. Namun dari beberapa investor yang saya baca-baca artikelnya (karena mereka punya blog), misalnya Bpk. Teguh Hidayat dan Bpk. Lim Ik Nen, mereka mengatakan bahwa sesekali mereka yang investor itu sesekali trading juga. Bahkan mereka menggunakan analisis teknikal untuk semakin memantapkan hasil analisis fundamental mereka. Kesimpulan yang mereka dapat adalah bahwa Analisis Teknikal lebih sering sesuai ketimbang bertentangan dengan Analisis Fundamental, asalkan digunakan pada rentang waktu yang tidak terlalu pendek, yaitu beberapa bulan. Jadi gaya berinvestasi tidak perlu 'dibela mati-matian', namun perlu dijadikan pedoman dasar sebelum kita memadukan gaya investasi lainnya. Style is not Bible.
Beberapa minggu kemudian keluarlah peraturan menteri tentang pembatasan minuman beralkohol di pasaran. Bisa ditebak harga saham MLBI akan langsung jatuh berguguran. Saya langsung deg-degan dan cut loss di harga 8700an. Setelah cut loss, sampai saat artikel ini ditulis, MLBI berada di rentang harga 6900-7000an.
Saya tidak menyesali keputusan untuk cut loss itu, toh faktanya MLBI dan IHSG sendiri belum naik signifikan sampai sekarang. Namun yang jadi pelajaran bagi saya adalah konsistensi yang harusnya saya terapkan ketika saya sudah menetapkan diri sebagai seorang investor. Harusnya saat itu saya mempelajari laporan keuangan MLBI dan menentukan valuasi wajarnya, seperti halnya yang dilakukan para investor lain, dan menyediakan dana segar cadangan yang cukup agar bisa average down (membeli pada harga dibawah rata-rata). Harusnya saya tidak mengambil penilaian dari grafik harga, minimal tidak melakukannya sebelum memiliki pengetahuan tentang Analisis Teknikal yang memadai, karena saya tidak mempersiapkan diri untuk bertransaksi dengan gaya seorang trader.
Lalu, apakah karena dua aliran yang berbeda ini, investor dan trader menjadi saling 'bertikai' selalu? banyak pihak akan menjawab iya. Umumnya mereka sering memperdebatkan tentang metode apakah yang paling menghasilkan dalam bertransaksi saham, metode mana yang akan berhasil pada situasi pasar saat itu. Banyak analis yang juga tidak menyarankan penggunaan Analisis Fundamental dan Analisis Teknikal secara bersamaan, karena akan memunculkan kebingungan ketika rekomentasi AF berbeda dengan rekomendasi TF. Namun dari beberapa investor yang saya baca-baca artikelnya (karena mereka punya blog), misalnya Bpk. Teguh Hidayat dan Bpk. Lim Ik Nen, mereka mengatakan bahwa sesekali mereka yang investor itu sesekali trading juga. Bahkan mereka menggunakan analisis teknikal untuk semakin memantapkan hasil analisis fundamental mereka. Kesimpulan yang mereka dapat adalah bahwa Analisis Teknikal lebih sering sesuai ketimbang bertentangan dengan Analisis Fundamental, asalkan digunakan pada rentang waktu yang tidak terlalu pendek, yaitu beberapa bulan. Jadi gaya berinvestasi tidak perlu 'dibela mati-matian', namun perlu dijadikan pedoman dasar sebelum kita memadukan gaya investasi lainnya. Style is not Bible.
No comments:
Post a Comment