Terlepas dari isu religius, saham-saham bir di Bursa Efek Indonesia dikenal mempunyai kinerja fundamental yang bagus. Sejauh ini baru ada 2 emiten perusahaan bir, yaitu Multi Bintang Indonesia (MLBI) dengan produk andalan "Bintang Pilsener" serta Delta Djakarta (DLTA) dengan produk andalannya "Anker".
Sejatinya, sifat pasar bir tidak berbeda jauh dengan rokok yang sudah mapan: mereka punya basis massa penggemar yang kuat. Tanyakan saja tentang bir dari Indonesia pada anak-anak muda yang lagi nongkrong, maka mereka pasti akan menyebut kedua merk diatas sebelum menyebut merk-merk lainnya. Belum lagi para wisatawan luar negeri, terutama yang mengunjungi Bali. Bagi mereka kata "Bintang" bermakna bir, bukan benda langit.
Sejatinya, sifat pasar bir tidak berbeda jauh dengan rokok yang sudah mapan: mereka punya basis massa penggemar yang kuat. Tanyakan saja tentang bir dari Indonesia pada anak-anak muda yang lagi nongkrong, maka mereka pasti akan menyebut kedua merk diatas sebelum menyebut merk-merk lainnya. Belum lagi para wisatawan luar negeri, terutama yang mengunjungi Bali. Bagi mereka kata "Bintang" bermakna bir, bukan benda langit.
Bahkan gubernur DKI Jakarta, Pak Ahok pun juga ngotot untuk mempertahankan kepemilikan saham oleh Pemda DKI atas Delta Djakarta. Ini karena dividen yang diterima Pemda, yang porsi sahamnya di DLTA hanya 23%, mencapai Rp 50,448 miliar, bandingkan dengan dividen dari PT. Pembangunan Jaya Ancol yang memberi dividen Rp 61,567 miliar padahal porsi Pemda DKI di situ mencapai 72%.
Ok, back to Bintang. Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, Bintang adalah Brand yang sudah mengakar kuat sekali, walu masih di kalangan kaum hedonis, hehe. Bagi saya yang unik adalah, meskipun tidak semua orang minum bir-nya, tapi cukup sering saya temui orang-orang yang memakai kaos berlogo bir ini, apalagi yang baru pulang dari Bali.
Itu dari segi branding-nya. Dari segi sejarah pun, MLBI adalah perusahaan yang sangat powerful. Perusahaan ini sudah berdiri sejak 1929 dengan nama Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen di Medan sebelum akhirnya pusat Produksi dipindah ke sekitar Surabaya tahun 1936. Di tahun itu juga Heneiken menjadi pemegang saham mayoritas sampai saat ini, meski sempat mengalami pergantian kepemilikan (pssst... tahun 1972 MLBI pernah berstatus sebagai BUMN lho). Sempat pula beberapa kali ditutup operasinya, terutama ketika era Perang Dunia II, tapi perusahaan tetap berhasil bertahan. Dari kelahirannya di era Belanda hingga saat ini, MLBI selalu menjadi market leader bir di Nusantara. Perusahaan ini terbukti solid dan kokoh. Jangankan Krismon 1998, bahkan Bom Bali I & II, G30S/PKI, hingga Perang Dunia II pun MLBI udah mengalaminya serta bisa survive.
Ok, branding udah, sejarah udah, sekarang analisis fundamental.
Berikut data keuangan MLBI sejak 2004:
Tahun | 2004 | 2005 | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012* | 2013 | 2014 |
Laba Bersih | 87,313 | 87,014 | 73,581 | 84,385 | 222,307 | 340,458 | 443,050 | 507,382 | 775,818 | 887,134 | 788,057 |
Ekuitas | 249,535 | 227,912 | 198,461 | 197,723 | 344,178 | 105,211 | 471,368 | 530,268 | 635,062 | 987,533 | 553,797 |
Liabilitas | 303,546 | 347,473 | 411,976 | 424,112 | 597,211 | 888,254 | 665,714 | 690,545 | 836,312 | 794,615 | 1,677,254 |
Aset | 553,081 | 575,385 | 610,437 | 621,835 | 941,389 | 993,465 | 1,137,082 | 1,220,813 | 1,471,374 | 1,782,148 | 2,231,051 |
dan berikut rasio ROA (Return On Asset) dan EAR (Equity to Asset Ratio):
Tahun | 2004 | 2005 | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012* | 2013 | 2014 |
ROA | 15.79% | 15.12% | 12.05% | 13.57% | 23.61% | 34.27% | 38.96% | 41.56% | 52.73% | 49.78% | 35.32% |
EAR | 45.12% | 39.61% | 32.51% | 31.80% | 36.56% | 10.59% | 41.45% | 43.44% | 43.16% | 55.41% | 24.82% |
*) Data tahun 2012 bersifat disetahunkan (annualiZed) karena Laporan Keuangan tahun tersebut disesuaikan dengan jadwal laporan keuangan perusahaan pemegang saham mayoritas, Asia Pacific Breweries Limited
Secara garis besar, dari angka-angka di atas dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang, perusahaan mampu terus bertumbuh. Tahun 2008 terjadi lonjakan profit yang besar dari penjualan bersih dan efisiensi yang mulai dijalankan sejak 2005, sehingga lonjakan itu berhasil dipertahankan di tahun-tahun berikutnya (bukan hasil manipulasi akuntansi). Di tahun 2013 pun laba bersih dan ekutias tetap naik, ditambah liabilitas turun.
Seperti yang kita ketahui, kenaikan harga saham MLBI yang signifikan sudah terhenti semenjak 2 tahun yang lalu. di penghujung tahun 2008, MLBI masih diperdagangkan di harga Rp600-an (aslinya Rp60.000an, namun disesuaikan dengan stock split 1:100 pada 6 November 2014). Pada awal Juni 2013, harganya sudah mencapai Rp15.000 alias naik 2500%. Setelah itu harganya berhenti menanjak dan hanya bisa terombang-ambing karena likuiditasnya memang sudah seret sejak dulu, sampai akhirnya sahamnya di stock-split. Namun pasca stock split, harganya justru makin jatuh.
Naiknya harga MLBI secara tajam di awal juni 2013 sebenarnya terjadi karena pihak Heneiken kembali mengakuisisi MLBI dari Asia Pacific Breweries, yang sejatinya juga adalah anak usahanya. Crossing saham ini 'resminya' dilakukan di harga 15.000 per lembar, namun ya itu tadi, kan APB juga anak usaha Heneiken, jadi pengeluaran di harga segitu cuma di atas kertas. Sehingga harga MLBI kembali turun dan stagnan di level 10.000-11.000. Ditambah lagi hangat-hangatnya isu penerapan pita cukai bir waktu itu yang membuatnya tidak bisa naik lagi. Harga MLBI sempat kembali menukik ke level 14.000 ketika perusahaan mengumumkan akan melaksanakan stock split demi meningkatkan likuiditas saham. Namun harga terus turun karena laporan kuartal 3 2014 waktu itu menunjukkan penurunan laba yang signifikan
Apesnya, ga ada hujan ga ada angin, di awal 2015 Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang baru, bapak Rachmat Gobel mengeluarkan peraturan pelarangan penjualan Bir di tempat-tempat umum dan minimarket. Bisa di tebak, harga sahamnya langsung turun seketika. Saya sendiri melakukan survey kecil-kecilan di beberapa minimarket dan swalayan di kota Jogja, memang sekarang jauh lebih susah untuk bisa menemukan bir. Swalayan besar yang sebenarnya tidak terdampak peraturan ini juga ikut-ikutan menarik penjualan bir dari toko mereka. Bahkan katanya di Bali pun, minimarket di sana hanya bisa menjual secara diam-diam. Saya sempat berbicara dengan seorang turis asal Australia di Jogja. Yang dia tanyakan juga sama: "Dimana saya bisa beli bir?"
Terbitnya peraturan yang kontroverisial ini, membuat MLBI terpaksa menunda rencana pengembangan pabrik senilai 635 Milyar. Terus, ada juga RUU Miras yang baru yang semakin memperkecil ruang gerak industri minuman beralkohol (isu-nya sih bakal dilarang total). Jadi kesimpulannya, 2015 ini adalah benar-benar tahun yang buruk bagi MLBI, sehingga sahamnya banyak dipengaruhi oleh sentimen negatif. Tau aja kan, cukup sering sentimen-sentimen pasar yang beredar membuat harga suatu saham terbang dan jatuh secara berlebihan. Pertanyaannya lalu, seberapa wajar kah saham MLBI saat ini? Mari lihat data berikut:
Harga saham | 7,150 |
Kapitalisasi Pasar | 15,065,050,000,000 |
Kapitalisasi Pasar/Aset | 7x |
PER | 19x |
PBV | 27x |
Kalau dilihat-lihat PER dan PBV-nya, di harga 7150 ini (sudah turun 40% dalam 6 bulan) maka MLBI terbilang anomali untuk sebuah perusahaan Consumer Goods yang PER dan PBV rata-ratanya masing-masing 28x dan 6X. Nah, sebagai perusahaan yang riwayatnya mapan, apakah mungkin bisa di komparasikan dengan sesama perusahaan Consumer Goods yang mapan dan tua, dalam hal ini UNVR?
Berdasarkan Kuartal I 2015, PER dan PBV UNVR adalah 48,26 dan 48.57 kali. Berat bro!
Jadi, walaupun saya udah coba panjang-panjang analisis saham yang satu ini, tetap susah menentukan harga wajarnya. Menghitung nilai intrinsik ala Warren Buffet juga tidak mungkin dilakukan karena fluktuasi pertumbuhan dan anjloknya laba perusahaan. Tapi satu hal yang bisa dipastikan adalah saat ini pergerakan harga saham MLBI lebih ditentukan oleh sentimen, yang sejauh ini super negatif. Langkah yang amat baik untuk kita lakukan adalah tetap wait and see, mengamati laporan kuartal terbaru secara rutin, sembari menunggu sentimen-sentimen itu lenyap dengan sendirinya.
Bagi saya sendiri, RUU Miras yang lagi dibahas di DPR sarat dengan kepentingan politik serta pencitraan. Anda bisa melihatnya sendiri dari pihak mana yang mengajukan RUU ini. Minuman beralkohol sudah ada sejak awal peradaban sejarah manusia. Di Indonesia juga minuman beralkohol tradisional sudah ada sejak dulu. Ketika minuman beralkohol yang diproduksi pabrik, yang sudah terstandar kadar kandungannya itu, dilarang maka masyarakat akan beralih ke minuman racikan sendiri yang kadar alkoholnya tidak tentu. Ini jauh lebih berbahaya. Saya sepenuhnya mendukung pembatasan usia bagi penikmat bir, karena bir tidak selayaknya digunakan untuk menunjukkan kedewasaan seseorang. Namun, pelarangan yang membabi buta hanya akan menimbulkan masalah baru.
Kalau alasannya adalah kesehatan, maka harusnya bir diperlakukan sama seperti rokok. Yah, sejauh ini saya belum pernah melihat orang mati atau sekedar mabuk gara-gara bir, sementara rokok udah kita lihat sendiri dampak kesehatannya seperti apa. Tapi apa yang terjadi? Rokok tetap dijual bebas dimana-mana. Apakah rokok bebas dijual semata-mata karena rokok belum tercantum hukumnya di Kitab Suci?
No comments:
Post a Comment