Seperti yang tercantum di portofolio saya tanggal 3 April 2017, saat ini saya sedang memegang saham BNLI (Bank Permata Tbk). Bedanya ketika itu portofolio saya masih 50:50 antara BNLI dan MFIN, maka sekarang mayoritas portofolio saya ada di BNLI karena baru saja dapat dana segar. Hehe
Nah ngomong-ngomong BNLI, bank ini dalam waktu dekat akan mengadakan right-issue (menerbitkan saham baru). Dalam keterbukaan informasi yang diberikan kepada bursa, ditulis bahwa saham BNLI ini mempunyai nilai nominal/nilai pari (par value) saham ini adalah Rp125, sama seperti saham yang beredar sekarang.
.
Beberapa pembaca yang bingung mengira bahwa right-issue BNLI itu akan ditetapkan di harga Rp125. kalau memang itu terjadi maka betapa timpangnya harga itu dibanding harga pasar BNLI sekarang yang sekitar Rp700-an per saham saat artikel ini ditulis. Oleh karena memang bukan itu yang dimaksud, maka mari kita membahas tentang apa itu nilai pari/nilai nominal saham dan perbedaanya dengan harga pasar saham.
Mari kita ilustrasikan bahwa ada 2 orang sahabat. Yang satu bernama Yenny, yang satu lagi Hana (dua perempuan ini jiwa entrepreneurnya strong sekali). Mereka berdua sepakat untuk mendirikan suatu usaha angkringan (Jogja cuy!). Masing-masing dari mereka menyetorkan dana Rp5 juta sebagai modal. Sehingga, total modal awal usaha angkringan ini adalah Rp10 juta rupiah. Dalam istilah korporasi (seandainya saja usaha angkringan tadi berbentuk Perseroan Terbatas/PT), modal Rp10 juta ini disebut modal disetor.
Ketika mendirikan perusahaan Angkringan ini di hadapan notaris, mereka berdua sepakat bahwa modal disetor Rp10 Juta tadi akan dinyatakan dalam bentuk 1000 saham. Artinya 1 saham mewakili modal disetor sebanyak Rp10.000. Nah, angka Rp10.000 inilah yang disebut nilai pari.
Karena Yenny dan Hana menyetorkan modal dengan besaran yang sama, maka masing-masing dari mereka kini memegang 500 saham. Artinya, prosentase kepemilikan Yenny dan Hana di perusahaan Angkringan tersebut adalah 50%:50%
Angkringan ini mulai dijalankan sejak 1 Januari 2012. Dari awalnya luntang-lantung sepi tidak ada pengunjung, perlahan-lahan Angkringan mulai punya pelanggan setia. Makanan yang enak, variatif ditambah yang jualan juga perempuan-perempuan cantik, maka Angkringan tadi mulai menghasilkan pemasukan yang lumayan pada tahun pertama. Di tahun ke lima (2017) malah Angkringan bisa membuka cabang di 4 tempat di seantero Jogja. Angkringan ini (sebut saja namanya Angkringan Payu) kini bisa menghasilkan laba bersih sekitar Rp 100 Juta setahun, dan total aset bersih (ekuitas)nya Rp 500 juta, punya karyawan 10 orang dan tentu saja akan terus bertambah.
Karena yakin bahwa Angkringan Payu ini sebenarnya bisa berkembang lebih besar dan lebih cepat
lagi, maka Hana dan Yenny mulai memikirkan untuk mencari sumber pendanaan baru. Karena enggan dibebani pinjaman bank, maka mereka berdua memutuskan untuk mencari partner yang mau jadi sesama pemilik Angkringan tersebut. Dalam hal ini, mereka memutuskan untuk menerbitkan saham baru. Karena menurut hasil perhitungan bisnis mereka membutuhkan dana segar sebesar Rp 150 juta, maka ya tentu saja mereka mencari mitra yang mau menyediakan dana sebesar itu.
Ternyata, mereka menemukan orang yang mau jadi mitra tadi. Namanya Mubarok. Mubarok bersedia menyediakan dana sebesar Rp150 juta, tentu saja dengan syarat ia juga jadi bagian dari para pemegang saham Angkringan Payu, dengan hak-hak yang sama dengan para pemegang saham pendiri usaha tersebut. Tentu saja, hak-hak yang melekat kepada pemegang saham, juga disesuaikan dengan jumlah saham yang mereka pegang masing-masing.
Nah, dalam situasi inilah akan muncul perbedaan antara nilai pari dan nilai pasar dari suatu saham.
pada 1 Januari 2012 (ketika perusahaan ini berdiri), Angkringan Payu sangatlah berbeda dengan kondisinya sekarang (2017). Ketika itu, Angkringan Payu masih belum menghasilkan apa-apa. Hanya sebuah perusahaan baru yang tidak dikenal orang, belum beroperasi apalagi punya karyawan. Dan untuk suatu perusahaan baru yang belum bisa apa-apa itu, Yenny dan Hana membayar 5 juta untuk bisa mendapatkan 500 saham, alias membayar Rp10.000 untuk 1 saham Angkringan Payu. Dalam hal ini, Nilai pari = Nilai pasar dari saham. Dan nilai pari ini wajib dinyatakan dalam sertifikat saham.
Kalau saja setelah usaha berkembang selama 5 tahun nilai pasarnya masih sama dengan nilai pari, maka situasinya akan sangat tidak adil bagi Yenny dan Hana:
-Dengan uang Rp150 Juta, maka Mubarok akan mendapatkan Rp150.000.000/Rp10.000 = 15 ribu saham.
-Karena ada 15 ribu saham baru yang nantinya akan jadi milik Mubarok, maka total saham beredar akan jadi (Jumlah saham awal) + 15 Ribu = 1000 + 15000 = 16000 saham
-Dengan total saham kini jadi 16000, maka secara prosentase si Mubarok akan menguasai 93.75% Angkringan tersebut! Sementara Si Yenny dan Hana, meskipun tetap memegang masing-masing 500 saham, namun secara prosentase kepemilikan mereka yang awalnya masing-masing 50% kini hanya jadi masing-masing (500/16000)*100% = 3,125%. Kecil sekali!
-Pertimbangkan bahwa Yenny dan Hana-lah yang membangun perusahaan ini dari awal berdiri hingga bisa sebesar sekarang selama 5 tahun yang penuh derai air mata perjuangan. Sementara Mubarok baru datang belakangan dan tidak pernah jadi bagian dalam perkembangan perusahaan selama 5 tahun itu. Betapa tidak adilnya jika Mubarok masih bisa mendapatkan saham dengan biaya yang sama dengan para pendiri perusahaan.
Karena akan jadi sangat tidak adil bagi Yenny dan Hana jika saham baru tersebut di jual ke Mubarok pada harga nilai pari, maka tentu saja mereka menolak skema semacam itu. Sehingga, Hanna dan Yeni berunding dengan Mubarok. Setelah perundingan yang rumit selama 2 minggu, akhirnya Mubarok setuju bahwa uang 150 juta yang akan ia serahkan pada Angkringan Payu akan ditukar dengan 100 saham saja, bukan 15.000 saham. Artinya, Harga pasar dari saham tersebut adalah (Rp150 juta/100 saham) = Rp 1.500.000 per saham.
Setelah transaksi tadi selesai, maka kini jumlah saham beredar dan prosentasi kepemilikan saham pun berubah. Jika awalanya jumlah saham ada 1000 saham, kini berubah menjadi :
= 1000 saham + 100 saham
= 1100 saham
Dan prosentasi kepemilikan perusahaan berubah juga, dari 50% Yenny dan 50% Hana menjadi:
Kepemilikan Yenny = 500 saham/1100 saham = 45,5%
Kepemilikan Hana = 500 saham/1100 saham = 45,5%
Kepemilikan Mubarok = 100 saham/1100 saham = 9%
Disinilah terlihat perbedaan yang nyata antara nilai pari dan nilai pasar dari saham yang dibeli Mubarok:
Nilai pari per saham = Rp10.000
Nilai pasar per saham = Rp1.500.000
Dari angka sekian, tampak perbedaan yang jauh sekali. Dan ini fenomena yang lumrah terjadi.
Lalu, apa fungsi dari nilai pari?
Seperti tampak dari ilustrasi diatas, nilai pari tidak berubah alias bersifat konstan. Kalaupun berubah, maka itu biasanya merupakan hasil dari stock split (pemecahan nilai saham) atau reverse split (penggabungan nilai saham). Dua aksi tadi pun tidak berdampak pada esensi nilai pari, karena jika saham dipecah, maka nilai pari juga dipecah sesuai proporsi pemecahan saham tadi. Begitu juga pada reverse split.
Nilai pari bersifat konstan/tidak berubah, karena fungsinya adalah menyetarakan kedudukan antara saham satu dengan saham lainnya.
Pada contoh diatas, satu lembar saham bernilai pari Rp10.000 yang diperoleh Yenny dan Hanna adalah sama kedudukannya (hak dan kewajibannya) dengan satu saham bernilai pari Rp10.000 yang dipegang Mubarok, meskipun mereka memperoleh saham tadi diperoleh pada harga pasar yang berbeda: yang satu Rp10.000 dan yang satu Rp1.500.000 per sahamnya.
Dengan kata lain, Mubarok, dengan membayarkan Rp150 juta, dianggap ikut juga menyetorkan modal pada saat pertama kali perusahaan berdiri, dimana modal yang ia sertakan adalah sebanyak (100 saham x Rp10.000) = Rp1 juta. Ya, dengan nilai pari yang sama, maka Mubarok dianggap setara dengan pemegang saham pendiri, karena seolah-olah ia juga ikut hadir dalam proses setor modal pendirian perusahaan. Kini, setelah hadirnya saham-saham baru Mubarok, maka modal disetor Angkringan Payu adalah
= (saham beredar) x (nilai pari)
= 1.100 x Rp10.000
= Rp 11 juta
Salah Paham Berita Online
Nah, seringkali, di berita-berita online memberitakan tentang aksi korporasi secara salah. Biasanya mereka menampilkan nilai nominal/nilai pari seolah-olah sebagai nilai pasar dari suatu saham. Perhatikan berita berikut:
Judulnya fatal sekali |
Dalam judul berita di atas, tampak seolah-olah bahwa KKGI akan melakukan buyback (membeli sahamnya sendiri di pasar) di harga Rp10 per saham. Padahal saat berita itu diturunkan, harga pasar KKGI adalah berkisar Rp2.300 an per saham.
Padahal yang terjadi saat itu sebenarnya adalah ada 2 kebijakan terpisah:
1. KKGI akan melakukan buyback dengan dana maksimal Rp150 milyar
2. KKGI akan memecah saham 1:5. Sehingga, nilai pari saham yang awalnya Rp50 per saham
menjadi Rp10 per saham.
No comments:
Post a Comment