Kalau pembaca ingat, beberapa bulan yang lalu ketika saya membahas tentang program Tol Laut dan relasinya dengan sektor maritim, saya pernah menjanjikan untuk menulis artikel tentang sektor perikanan.
Sektor yang hanya diisi oleh tiga emiten ini memang terbilang kurang menarik dibanding sektor-sektor lainnya. Sepinya peminat bukannya tidak beralasan. Sektor ini berisi perusahaan-perusahaan yang kinerjanya kurang baik.
Tiga perusahaan di sektor perikanan adalah Dharma Samudera Fishing Industries (DSFI), Central Proteinatama (CPRO), Inti Agri Resources (IIKP).
Untuk IIKP saja pada Semester 1 2015 mengalami kerugian sebesar Rp7.231.534.827, tahun 2014 rugi Rp11.843.182.632, dan tahun 2013 rugi Rp18.409.319.727. Perusahaan yang fokus pada pembiakkan ikan arwana ini punya kendala antara lain:
- Variasi stok arowana yang masih terbatas disebabkan karena kemampuan produksi yang belum maksimal.
- Jaringan pemasaran masih terbatas. Pasar potensial seperti Balik Papan, Banjarmasin, Palembang dan daerah-daerah lain belum terjangkau jaringan pemasaran secara berkelanjutan. Demikian juga untuk pasar ekspor.
- Disparitas harga yang cukup tinggi disebabkan masih banyaknya ikan arowana ilegal di pasaran.
- Hambatan dalam perijinan peredaran arowana, sehingga membuat proses distribusi ikan lebih lama juga biaya yang dikeluarkan untuk distribusi ikan lebih mahal.
- Kompetitor dalam penjualan ikan arowana semakin banyak, baik domestik maupun ekspor. Untuk ekspor setiap tahun pemegang CITES di Indonesia semakin banyak.
Kalo DSFI?
Menurut LK tahun 2014 sih, perusahaan ini berhasil meraih laba sebesar 12 Milyar, naik tipis dari tahun 2013. Tapi perlu diingat bahwa perusahaan ini, hingga semester 1 2015 mengalami defisit sebesar 140 Milyar. Perusahaan juga pernah mengalami kegagalan memenuhi rasio keuangan tertentu pada tahun 2013 yang ditentukan oleh kreditor utamanya, Bank BNI. Bank BNI pada tahun 2010 adalah pihak yang memberi talangan pada program restrukturisasi kredit perusahaan. Jadi, kelangsungan hidup perusahaan ini juga sejatinya sedang terancam.
Gimana dengan CPRO?
Diantara 3 perusahaan di sektor perikanan, mungkin CPRO lah yang paling populer.Tapi yah sama saja, ekuitas sedikit dengan utang yang segunung. Di tahun 2014 dan 2012 juga mencatat rugi. Jadi saya pikir masih belum perlu untuk menghitung rasio-rasio keuangannya.
Ironis memang. Di negara yang 2 per 3 wilayahnya laut ini ternyata emiten-emiten perikanan dan pelayaran masih berkinerja kurang baik. Meski ada program poros maritim, namun harusnya tetap kinerja perusahaan lah yang jadi faktor utama berhasil tidaknya suatu emiten dalam mencetak keuntungan dari kekayaan alam Indonesia. Kita sebagai investor ya cuma bisa melihat laporan keuangan. Tidak bisa kita, dalam rangka nasionalisme dan euforia semata, lalu membeli saham-saham di sektor ini.
No comments:
Post a Comment